Padahal baru beberapa hari tapi sudah merindukan ibu, lebih-lebih masakannya yang khas itu. Seperti kebanyakan anak, ia akan menempatkan masakan ibunya di klasemen teratas dari berbagai masakan yang pernah dilahapnya. Di luar sana memang tersaji kuliner yang menggiurkan, tetapi masakan ibu adalah yang nomor satu. Entah kenapa, apakah ini kebenaran subyektif semata, kalaupun iya tentu tidak masalah. Lha wong itu ibu saya kok, tidak ada salahnya menempatkan beliau di puncak daftar masakan terenak. Mungkin juga karena sedari kecil saya sudah disuap dengan nasi dan lauk pauk sehingga sampai sekarang rasa dan aroma itu melekat di lidah saya. Padahal menu masakan ibu biasa-biasa saja: tempe goreng; sambal terasi; dan sayur daun kelor, tapi kelezatannya itu tidak ada yang menandingi. Apalagi ketika pagi hari mulut masih kelu karena air liur semalam, menambah kenikmatan saja. Saya jadi ingin pulang. Ah, padahalkan baru beberapa hari di kota orang...
Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...