Langsung ke konten utama

Mesin besar yang bernama industri

      Artikel ini bisa dianggap sebagai kelanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul Ditipu habis oleh globalisasi. Karena industri adalah cara paling efektif untuk mencapai tatanan dunia yang seragam. Industri masuk melalui pintu lebar yang bernama globalisasi dan dipersilakan oleh tuan rumah dengan karpet merah. Celakalah bagi tuan rumah karena mempersilakan orang yang tidak dikenal dan tidak tahu apa tujuan sebenarnya orang-orang di balik dunia industri. Dengan investor dan dana tak terbatas membangun megah imperium ekonomi dan lambat laun menginfiltrasi dan mengintervensi pemerintahan. Mengubah seenaknya regulasi negara agar sesuai dengan kepentingannya. Kalau perlu mengganti penyelenggara jika tidak sesuai dengan keinginan para pelaku industri. Karena era neo renaisans ini, uang lebih berkuasa dari pada pelaku politik, apalagi sistem politiknya adalah demokrasi di mana membutuhkan banyak dana untuk meraih dan mempertahankan eksistensinya. 

      Saya jadi teringat sistem kasta agama hindu bahwa kaum industrialis (waisya) lebih rendah dari pada kaum teknokrat (ksatria), tapi sekarang keadaannya berbalik. Bahkan kaum pedagang mampu mengangkangi kaum agamawan (Brahmana). Bagaimana itu bisa terjadi? Sederhana sekali, di zaman sekarang siapa yang tidak membutuhkan pekerjaan dan uang? Semua orang membutuhkannya. Itu berarti kaum agamawan dan teknokrat mau tidak mau menuruti kehendak kaum industrialis yang memiliki modal besar.

     Semua sudah diatur sedemikian rupa agar berjalan mulusnya industrialisasi, menuju dunia yang dikendalikan para industrialis. Termasuk aturan kepemilikan tanah, pengelolaan sumber daya, naik-turunnya harga barang, dan masalah halal-haram dalam agama. 

      Industri, secara tidak langsung, mengubah perilaku manusia. Manusia tidak lagi menjadi makhluk yang istimewa melainkan menjadi mesin tanpa perasaan dan kejiwaan yang siap melakukan apa saja tanpa istirahat. Berangkat pagi kemudian pulang malam, melakukan pekerjaan yang sebenarnya bukan karena impian dan gairahnya. Para mesin itu melakukan sesuatu yang tidak disenanginya. Kesehariannya penuh dengan tuntutan dan martabatnya direndahkan. Bekerja selama 6 hari penuh dan hanya tersisa 1 hari untuk menyegarkan pikiran, itu pun kalau sempat. Para mesin itu rela menanggung penderitaan hanya demi memenuhi kebutuhan hidupnya. 

      Masalah-masalah baru sering muncul di daerah yang menuju industrialisasi, misalnya kecemburuan sosial, perceraian, penyakit kejiwaan, konflik horizontal dan vertikal. Yang saya benci dari industrialisme adalah berubahnya lahan subur menjadi bangunan yang mustahil untuk kembali seperti semula. Berapa hektar sawah yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pokok jutaan manusia beralih fungsi menjadi barang-barang yang mayoritas diekspor? Memangnya manusia modern sudah tidak lagi mengkonsumsi nasi? Apa perlu mengimpor dari negara yang kualitas tanahnya tidak sesubur di sini? 

     Dan yang seperti kita tahu mayoritas pabrik mengeluarkan asap karbondioksida yang jelas merusak organ tubuh manusia dan lingkungan. Muncul penyakit-penyakit seperti infeksi di saluran pernapasan, asma, paru-paru basah, dan masih banyak lagi, dan polusi udara ini juga mampu merubah iklim karena semakin banyaknya emisi gas maka suhu atmosfer akan meningkat, secara alamiah akan muncul awan dingin untuk menstabilkan suhu yang panas tadi. Dari awan yang dingin itu akan muncul curah hujan yang lambat laun akan mengakibatkan banjir dan menaikkan permukaan air laut. Yang lebih parahnya adalah ketika air laut tadi masuk ke area persawahan yang akan mengakibatkan gagal panen dan menurunkan kualitas kesuburan tanah.

      Tidak berhenti di situ saja, ke mana limbah pabrik di buang? Mungkin ada beberapa industrialis yang menyediakan wadah untuk menampung limbah dan mampu mengolahnya, tapi tidak semua industrialis memperdulikannya. Bagaimana dengan limbah yang dibuang ke sungai dan ke laut? Apa dampaknya untuk biota laut? Apakah manusia modern sudah tidak lagi mengkonsumsinya? Apa perlu mengimpor seperti beras tadi? Kalau itu terjadi betapa bodohnya apa yang dilakukan oleh manusia modern. 

      Memang benar dengan menjadi industrialis, kekayaan material akan meningkat dan standar hidup bertambah, tapi jangan lupa dengan efek spiritual. Di Tiongkok para mesin melakukan kegiatan yang sama setiap hari mulai dari jam 9 pagi sampai 9 malam selama 6 hari. Jika seorang mesin melakukan di bagian penjahitan, selama itu pula para mesin melakukan pekerjaan itu sepanjang hari dan tidak berganti. Sampai akhirnya mereka pulang lalu terdiam merenungi kehidupannya dan muncul pertanyaan abadi dan mendasar hakikat hidup manusia "Saya ini siapa?" Pertanyaan tersebut tidak terjawab. Lalu seorang mesin itu tertidur dan esok harinya bekerja lagi dan melakukan hal yang sama, kemudian pulang, lalu duduk terdiam merenungi kehidupannya dan muncul pertanyaan tersebut di dalam benaknya. Selama dia menjadi seorang mesin, pertanyaan itu muncul terus dan menghantui tanpa menemukan jawaban. Sampai akhirnya seorang mesin itu berpikir bahwa jika saya adalah manusia kenapa kehidupan saya itu-itu saja, monoton, tidak ada kegiatan lain yang menarik. Lalu siapa yang menciptakan saya dan bagaimana saya bisa berinteraksi dengan Pencipta? Miris sekali karena seorang manusia yang seharusnya menjadi makhluk spesial yang memiliki daya spiritual kini berubah tak lebih dari mesin pesuruh saja. Dan itu berlaku hampir di seluruh penjuru dunia, contohnya di Jepang. Memang benar mereka negara yang maju penuh dengan kedisiplinan tapi bagaimana dengan tingkat angka bunuh diri dan bagaimana itu bisa terjadi? secerdas apa pun manusia selama mereka hidup dunia akan menemui masalah, dan ketika manusia sudah sampai di puncak masalah maka mereka perlu Tuhan untuk membantu mengeluarkan dari masalah tersebut. Inilah yang tidak dimiliki oleh para mesin. Mereka sibuk bekerja sehingga tidak sempat bertuhan.

      Beruntunglah saya tinggal di lingkungan yang biasa-biasa saja. Walaupun kini dalam proses menuju industrialisasi tapi setidaknya masih bisa berjumpa dengan masyarakat yang bersosial dan spiritual. Masih ada perayaan agama di masjid maupun musala, masih ada ibu-ibu yang berkumpul setiap pekannya, masih ada orang-orang yang bermain bola setiap sorenya. Saya tidak tahu jika mesin besar itu sampai pada puncaknya, akan menjadi seperti apa dan seberapa jauh hubungan kita dengan Sang Pencipta?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...