Saya kira
musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi
ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya.
Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang
peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan
merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian
dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan
nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa
yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang
mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua?
Ketika pertandingan
dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi
instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan
ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan
komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah-olah
malaikat maut diam-diam dari sekeliling mengintai lalu mencabut nyawa. Membayangkan
hal buruk menimpa saya. Apakah saya akan menjadi korban berikutnya? Batas
antara kehidupan dan kematian. Mencoba sembunyi, tidak bisa. Berusaha untuk
melepaskan, tidak mungkin. Klub bagian dari diri saya.
Saya berdiri
di antara dua pilihan: berhenti sebagai penggemar atau terus lanjut
mengikutinya. Ke mana pun dan di mana pun dengan uang seadanya dan waktu yang
tersisa. Sebagian masa lalu saya habiskan dalam sepak bola. Bermain, menonton,
mengamati, membaca tulisan tentang sepak bola, dan menaruh harapan padanya. Mengubah
sepak bola yang buruk menjadi sedap dipandang. Mengubah kebiasaan destruktif ke
konstruktif, dan ujung dari semua itu adalah jalan dan hidup jutaan anak
manusia. Saya terus memikirkan bagaimana caranya: apa yang perlu dilakukan dan
apa yang harus dihindari.
Mungkin kemarin
memilih acuh tak acuh tentang persiapan laga esok, line up, strategi dan formasi. Tidak peduli dengan hasil
pertandingan. Bahkan tidak peduli tentang masa depan klub. Toh, Persijap tanpa
atau dengan saya tidak ada pengaruhnya. Tetapi dalam satu malam semua yang saya
rencanakan dan putuskan berubah seketika. Saya memilih lanjut sebagai penggemar
dengan menanggung resiko yang ada. Ingin bersama kawan-kawan di tribun yang sama,
bersorak meluapkan emosi kemudian memetamorfosiskan menjadi nyanyian pemujaan,
merayakan kemenangan, berkelakar terhadap aksi-aksi konyol yang terlintas di
kedua pasang mata, isu-isu sosial yang menarik untuk diperbincangkan, serta membual di
setiap pemain yang jatuh adalah alasan utama saya tetap menghadiri setiap laga.
Dan atmosfer stadion tak terlupa. Atmosfer bagian dari pertunjukan. Ia membuat
stadion menjadi hidup bak memiliki nyawa dan penggemar adalah mesin pemompa
jiwa yang tidak pernah berhenti seperti bergulirnya bola. Karena sepak bola
menghentikan serentak segala kesibukan dan aktivitas duniawi anak manusia
menuju tempat penyembuhan rohani. Sepak bola menjadi tempat pelarian dari
carut-marut keruwetan kehidupan nyata. Menyegarkan mata sekaligus menata ulang
isi kepala.
Dan
pertandingan telah selesai, udara siang telah berganti malam, mereka masih
ingin bersama berbagi momen-momen yang pantas ditertawakan seiring air dalam
gelas diteguk perlahan-lahan. Cerita dari sepak bola akan dikenang para
penggemar dan menyenangkan jika dibagikan kepada kelak anak-anak mereka.
Dari situ saya
mengerti mengapa penggemar selalu kembali dan kembali ke stadion, berdiri di
tempat dan kawan-kawan yang sama meski masalah hidup menumpuk berhari-hari,
meski malaikat maut berdiri di atas ubun-ubun bersiap memporak-porandakan bagai
angin utara. Penggemar ingin terus mencoba melupakan sejenak kesulitan
kehidupan nyata. Mereka ingin sembuh.
Komentar
Posting Komentar