Langsung ke konten utama

Tidak ada yang sehangat masakan ibu

     Padahal baru beberapa hari tapi sudah merindukan ibu, lebih-lebih masakannya yang khas itu. Seperti kebanyakan anak, ia akan menempatkan masakan ibunya di klasemen teratas dari berbagai masakan yang pernah dilahapnya. Di luar sana memang tersaji kuliner yang menggiurkan, tetapi masakan ibu adalah yang nomor satu. Entah kenapa, apakah ini kebenaran subyektif semata, kalaupun iya tentu tidak masalah. Lha wong itu ibu saya kok, tidak ada salahnya menempatkan beliau di puncak daftar masakan terenak. Mungkin juga karena sedari kecil saya sudah disuap dengan nasi dan lauk pauk sehingga sampai sekarang rasa dan aroma itu melekat di lidah saya.

       Padahal menu masakan ibu biasa-biasa saja: tempe goreng; sambal terasi; dan sayur daun kelor, tapi kelezatannya itu tidak ada yang menandingi. Apalagi ketika pagi hari mulut masih kelu karena air liur semalam, menambah kenikmatan saja. Saya jadi ingin pulang. Ah, padahalkan baru beberapa hari di kota orang.

     Bu, saya merindukan kuah segar asem-asem tulang sapi itu. Betapa nikmatnya ketika disantap di siang hari. Saya biasa mengambil lebih banyak kuah di banding nasinya dan itu pun tidak saya beri kecap agar keaslian masakan ibu tidak dihalangi oleh manis kedelai hitam berfermentasi. Ritual saya sebelum makan adalah mendinginkan nasinya terlebih dahulu agar kuah hangat tidak menyatu dengan nasi yang masih panas. Bisa-bisa melepuh ujung lidah saya dan itu akan mengurangi cita rasa setiap kali saya makan.

     Ketika masih awal remaja saya sering menikmati masakan itu di atas rumah sambil memandangi pepohonan dan merasakan sepoi-sepoi angin siang. Kalau saya ingat-ingat agak keterlaluan juga. Masak mau makan saja sampai naik ke atas rumah. Padahal juga ada meja makan yang tidak dipakai orang, tapi mau bagaimana lagi, namanya juga anak yang baru pubertas. Semua belum dipikir masak-masak, tapi enak juga sih. Bagaimana kalau ketika saya pulang nanti saya mencobanya lagi. Tidaklah saya sudah dewasa.

     Ada kebisaan ibu yang membuat saya agak gusar, yaitu menghangatkan kembali sayur bening. Saya pernah membaca satu artikel ketika masih di sekolah menengah bahwa sayuran itu jangan dimasak lama karena akan menghilangkan kandungan nutrisi dari sayuran tersebut. Dimasak lama saja tidak boleh apalagi dihangatkan. Saya khawatir akan mengganggu kesehatan saya walaupun sakit dan sehat datangnya dari pikiran. Biasanya saya tidak mengambil sayuran yang dihangatkan itu dan kalau sudah terlalu lama saya diam-diam memberikannya pada bebek ternak depan rumah.

     Ibu itu terlalu sering memasak terlalu banyak sehingga berhari-hari kami menyantap makanan yang sama dan kami pun merasa kehilangan selera olehnya padahal menu yang disajikan lezat pula seperti beef stick jawa. Karena kelimpahan daging hari raya atau rica-rica bebek dan biasanya pula ibu jarang memasak karena sibuk bekerja dan kadang kala kecapekan. Saya memaklumi saja, toh juga saya belum mampu membelikan lauk pauk untuknya atau ketika ibu sedang memasak menu yang tidak saya suka yaitu olahan ikan tongkol. Karena di lidah saya ikan itu terasa ada pahitnya, tidak seperti ikan pada umumnya. Saya sempat berpikir bahwa ini ikan atau singkong bakar. Dengan segala menunya tadi bagaimana pun saya tetap melahapnya karena saya khawatir ibu tidak mau memasak lagi karena tidak laku lalu basi. Biarlah saya habiskan walau tidak suka asal ibu mau memasak lagi esoknya.

      Ibu sering bereksperimen ketika memasak, seperti mencampurkan sambal sisa baso seminggu lalu ke dalam kuah atau membuat tempe tepung dengan bumbu ala ayam krispi. Eksperimen itu kebanyakan berhasil; enak juga. Sampai sekarang saya sempat bertanya-tanya teknik memasak apa yang digunakan ibu sampai-sampai saya mendustai masakan di luar sana. Saya sering mengamati bahwa ibu tidak pernah  menggunakan resep ketika memasak. Seolah-olah semua terjadi secara alamiah. Berbeda sekali dengan acara memasak di televisi yang dengan gamblangnya menggunakan resep. Seperti tidak tahu urutan langkah dan bahan-bahan apa yang dibutuhkan ketika memasak. Tidak ada yang tahu enak atau tidaknya masakan tersebut kecuali orang-orang yang berada di acara itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...