Langsung ke konten utama

Dialog antara dua "Aku" #9

     "Syukurlah, masih ada kemungkinan." Pria manis berkumis tipis itu menghela lalu mengembuskan napas, "Yah, perlu kamu tahu, tidak membaca buku waktu masih sekolah adalah salah satu penyesalanku."

     "Kenapa?"

  "Kamu tahulah membaca buku itu menyita banyak waktu, kehidupan ini terlalu singkat untuk membaca buku. Mungkin jika aku membaca buku waktu masih sekolah aku tidak akan seperti ini, menjadi pemuda yang tidak memiliki masa depan. Mungkin sejak sekolah aku bisa menemukan bakat dan minatku lalu menata dan mengembangkannya. Mungkin aku akan mengabaikan mata pelajaran yang kurang aku minati. Dulu kan tidak, semua aku pukul rata. Sekuat-kuatnya aku harus bisa mengikuti semua mata pelajaran sampai aku tidak punya satu pun bidang keahlian. Sampai sekarang aku menyesal tidak menemukan bakat dan minatku. Mungkin waktu itu aku akan serius belajar, tidak menyontek, membaca banyak buku agar bisa menulis secara menyeluruh, punya stok kata-kata yang melimpah. Kalau dipikir-pikir buat apa dapat nilai bagus kalau bukan hasil pekerjaan sendiri, atau itu budaya korupsi yang sudah diterapkan sejak muda, ya?" Rumi melemparkan perkataannya pada Wiyah.

     "Kemungkinan besar iya." Wiyah menjawab dengan malu-malu, "Jangankan kamu, Rum, aku yang sudah kuliah di penghujung semester saja masih sering menyontek."

     "Yah, kenapa kamu melakukan itu?"

    "Karena jurusan yang aku ambil tidak sesuai minat dan bakatku, jadinya asal-asalan saja dan juga aku tidak mau capek-capek berpikir."

     "Ada mata kuliah yang kamu tidak tuntas?"

     "Tidak ada."

     "Bagaimana bisa?" Rumi kaget mendengar jawaban Wiyah.

     "Kamu tahu sendirilah, Rum. Tidak ada sistem yang jujur di dunia ini, apalagi tentang kuliah. Kamu cukup bayar dan isi presensi saja. Nanti juga dapat nilai bagus sendiri. Orang-orang yang mendapat nilai bagus itu bukan karena mereka cerdas tapi patuh saja apa yang dikatakan dosen. Disuruh berangkat ya berangkat, disuruh mengerjakan ya mengerjakan walaupun asal-asalan."

     Rumi menggelengkan kepala, apa yang diyakininya benar adanya bukan hanya isu semata, "Kalau diteruskan mana mungkin negara ini dikelola oleh orang yang jujur dan berkompeten, kalau yang dicari waktu sekolah hanya selembar ijazah dan ketika kerja hanya uang dan bonus-bonusnya. Apapun akan dilakukannya termasuk menjual diri." Rumi merasa lemas mengatakan hal tersebut.

     "Ada benernya juga, Rum, kalau kamu bilang seperti itu."

    "Itulah, Yah. Salah satu alasanku tidak mau melanjutkan sekolah. Aku tidak mau disamakan dengan mereka."

     "O termasuk aku, Rum?"

    "Kamu pengecualian, Yah. Bukankah kamu temanku? Kalau aku membencimu maka aku tidak mungkin ada di depanmu." Rumi membujurkan kedua kakinya yang panjang di bawah meja kayu berpelitur. "Yah, sejak kejadian itu aku tidak pernah berlama-lama berpisah dengan buku. Mungkin aku betah tidak makan seharian, tapi aku tidak mungkin jika tidak membaca walau hanya satu halaman. Dulu kalau membaca buku rasanya ingin cepat-cepat meletakkan kepala, kalau sekarang tidak membaca rasanya ada yang kurang dalam hidupku. Aku sudah menganggap membaca sebagai makanan psikis dalam otakku. Tahu sendiri kalau perut lapar rasanya seperti apa. Kira-kira seperti itulah jika otakku belum diisi dengan bacaan, pusing rasanya, agak menyiksa memang." Rumi meneguk air mineralnya di dalam gelas yang masih penuh, "Dengan membaca aku merasa bebas, mungkin tubuhku ada di sini tapi pikiran dan jiwaku sudah beranjak ke mana-mana. Tanpa perlu pergi ke suatu tempat, melalui membaca aku sudah tahu tempat itu. Bahkan aku seperti diajak bercengkerama oleh penulisnya. Aku seperti kecanduan."

     "Segitunya, Rum?"

    "Silakan saja dicoba." Rumi mencoba meyakinkan, "Kamu jangan kira bahwa aku sudah gila dalam membaca buku. Tingkatanku masih rendah, maksimal tidak lebih dari 150 halaman per hari. Pernah ada orang yang bisa membaca buku sekitar 500 halaman per hari, namanya Stalin, pemimpin Soviet. Dia penguasa pembaca terbaik Rusia sejak Catherine Yang Agung hingga Vladimir Putin, bahkan termasuk Lenin yang terkenal sebagai intelektual dan menikmati pendidikan bangsawan. Sehingga dia punya sekitar 20.000 koleksi buku yang dia baca sejak muda. Menurut Stalin, para sastrawan adalah insinyur-insinyur jiwa manusia, sehingga pada zamannya dia benar-benar memperhatikan posisi kesusastraan di Soviet. Terlepas dari kekejamannya yang menghilangkan puluhan juta orang yang tidak sepemahaman dengan dia, aku sendiri sangat iri karena tidak mampu membaca sampai ratusan halaman per hari. Tahu sendirilah stamina otak manusia itu berbeda-beda." Kata Rumi, "Kalau kamu tertarik dengan kesusastraan Soviet dengan sastra realisme sosialisnya, kamu bisa menemukan di rak buku paling selatan paling atas. Aku punya cukup banyak koleksinya." Kata Rumi, "Aku ingin punya pemimpin negara yang punya ketertarikan dalam dunia sastra dan punya kebiasaan membaca seperti Stalin. Aku tidak tahu pemimpin sekarang membaca apa."

    Wiyah tercengang mendengar harapan Rumi, "Termasuk kebijakan yang mengakibatkan pembantaian itu?"

      Rumi lebih tercengang mendengarnya, "Bukan itu yang kumaksud. Memang Stalin banyak buruknya tapi masak seburuk-buruknya dia tidak ada hal yang baik sedikit pun."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...