"Syukurlah, masih ada kemungkinan." Pria manis berkumis tipis itu menghela lalu mengembuskan napas, "Yah, perlu kamu tahu, tidak membaca buku waktu masih sekolah adalah salah satu penyesalanku."
"Kenapa?"
"Kamu tahulah membaca buku itu menyita banyak waktu, kehidupan ini terlalu singkat untuk membaca buku. Mungkin jika aku membaca buku waktu masih sekolah aku tidak akan seperti ini, menjadi pemuda yang tidak memiliki masa depan. Mungkin sejak sekolah aku bisa menemukan bakat dan minatku lalu menata dan mengembangkannya. Mungkin aku akan mengabaikan mata pelajaran yang kurang aku minati. Dulu kan tidak, semua aku pukul rata. Sekuat-kuatnya aku harus bisa mengikuti semua mata pelajaran sampai aku tidak punya satu pun bidang keahlian. Sampai sekarang aku menyesal tidak menemukan bakat dan minatku. Mungkin waktu itu aku akan serius belajar, tidak menyontek, membaca banyak buku agar bisa menulis secara menyeluruh, punya stok kata-kata yang melimpah. Kalau dipikir-pikir buat apa dapat nilai bagus kalau bukan hasil pekerjaan sendiri, atau itu budaya korupsi yang sudah diterapkan sejak muda, ya?" Rumi melemparkan perkataannya pada Wiyah.
"Kemungkinan besar iya." Wiyah menjawab dengan malu-malu, "Jangankan kamu, Rum, aku yang sudah kuliah di penghujung semester saja masih sering menyontek."
"Yah, kenapa kamu melakukan itu?"
"Karena jurusan yang aku ambil tidak sesuai minat dan bakatku, jadinya asal-asalan saja dan juga aku tidak mau capek-capek berpikir."
"Ada mata kuliah yang kamu tidak tuntas?"
"Tidak ada."
"Bagaimana bisa?" Rumi kaget mendengar jawaban Wiyah.
"Kamu tahu sendirilah, Rum. Tidak ada sistem yang jujur di dunia ini, apalagi tentang kuliah. Kamu cukup bayar dan isi presensi saja. Nanti juga dapat nilai bagus sendiri. Orang-orang yang mendapat nilai bagus itu bukan karena mereka cerdas tapi patuh saja apa yang dikatakan dosen. Disuruh berangkat ya berangkat, disuruh mengerjakan ya mengerjakan walaupun asal-asalan."
Rumi menggelengkan kepala, apa yang diyakininya benar adanya bukan hanya isu semata, "Kalau diteruskan mana mungkin negara ini dikelola oleh orang yang jujur dan berkompeten, kalau yang dicari waktu sekolah hanya selembar ijazah dan ketika kerja hanya uang dan bonus-bonusnya. Apapun akan dilakukannya termasuk menjual diri." Rumi merasa lemas mengatakan hal tersebut.
"Ada benernya juga, Rum, kalau kamu bilang seperti itu."
"Itulah, Yah. Salah satu alasanku tidak mau melanjutkan sekolah. Aku tidak mau disamakan dengan mereka."
"O termasuk aku, Rum?"
"Kamu pengecualian, Yah. Bukankah kamu temanku? Kalau aku membencimu maka aku tidak mungkin ada di depanmu." Rumi membujurkan kedua kakinya yang panjang di bawah meja kayu berpelitur. "Yah, sejak kejadian itu aku tidak pernah berlama-lama berpisah dengan buku. Mungkin aku betah tidak makan seharian, tapi aku tidak mungkin jika tidak membaca walau hanya satu halaman. Dulu kalau membaca buku rasanya ingin cepat-cepat meletakkan kepala, kalau sekarang tidak membaca rasanya ada yang kurang dalam hidupku. Aku sudah menganggap membaca sebagai makanan psikis dalam otakku. Tahu sendiri kalau perut lapar rasanya seperti apa. Kira-kira seperti itulah jika otakku belum diisi dengan bacaan, pusing rasanya, agak menyiksa memang." Rumi meneguk air mineralnya di dalam gelas yang masih penuh, "Dengan membaca aku merasa bebas, mungkin tubuhku ada di sini tapi pikiran dan jiwaku sudah beranjak ke mana-mana. Tanpa perlu pergi ke suatu tempat, melalui membaca aku sudah tahu tempat itu. Bahkan aku seperti diajak bercengkerama oleh penulisnya. Aku seperti kecanduan."
"Segitunya, Rum?"
"Silakan saja dicoba." Rumi mencoba meyakinkan, "Kamu jangan kira bahwa aku sudah gila dalam membaca buku. Tingkatanku masih rendah, maksimal tidak lebih dari 150 halaman per hari. Pernah ada orang yang bisa membaca buku sekitar 500 halaman per hari, namanya Stalin, pemimpin Soviet. Dia penguasa pembaca terbaik Rusia sejak Catherine Yang Agung hingga Vladimir Putin, bahkan termasuk Lenin yang terkenal sebagai intelektual dan menikmati pendidikan bangsawan. Sehingga dia punya sekitar 20.000 koleksi buku yang dia baca sejak muda. Menurut Stalin, para sastrawan adalah insinyur-insinyur jiwa manusia, sehingga pada zamannya dia benar-benar memperhatikan posisi kesusastraan di Soviet. Terlepas dari kekejamannya yang menghilangkan puluhan juta orang yang tidak sepemahaman dengan dia, aku sendiri sangat iri karena tidak mampu membaca sampai ratusan halaman per hari. Tahu sendirilah stamina otak manusia itu berbeda-beda." Kata Rumi, "Kalau kamu tertarik dengan kesusastraan Soviet dengan sastra realisme sosialisnya, kamu bisa menemukan di rak buku paling selatan paling atas. Aku punya cukup banyak koleksinya." Kata Rumi, "Aku ingin punya pemimpin negara yang punya ketertarikan dalam dunia sastra dan punya kebiasaan membaca seperti Stalin. Aku tidak tahu pemimpin sekarang membaca apa."
Wiyah tercengang mendengar harapan Rumi, "Termasuk kebijakan yang mengakibatkan pembantaian itu?"
Rumi lebih tercengang mendengarnya, "Bukan itu yang kumaksud. Memang Stalin banyak buruknya tapi masak seburuk-buruknya dia tidak ada hal yang baik sedikit pun."
Komentar
Posting Komentar