Langsung ke konten utama

Kehidupan yang saya impikan

Menjenuhkan sekali hidup di dunia modern ini. Apa-apa dituntut untuk mengikuti sistem yang ada. Saya ini banyak tidak sukanya daripada sukanya. Semakin lama saya rasakan, hidup ini diukur dengan materi: uang, jabatan, dan penampilan menjadi hal yang wajib agar dihargai orang. Kalau hanya sekadar hidup saja tanpa memiliki apa-apa, jangankan dihargai, dikenali saja tidak bahkan diremehkan. Betapa sulitnya menjalani kehidupan yang penuh kebohongan ini. Sangat sulit bagi saya untuk mencari orang yang benar-benar menuju pada Tuhan. Katanya agamawan tetapi ujung-ujungnya juga cari uang. Mau bagaimana lagi saya diperintah oleh Tuhan untuk hidup di zaman modern ini. Kalau saya boleh memilih, saya ingin hidup sezaman dengan nabi. Sebab jika saya tidak tahu, tidak paham, atau kebingungan, saya bisa langsung bertanya kepada beliau. Akan saya ikuti semua perkataannya walau kadang kala di luar logika. Kalau dibandingkan dengan zaman modern ini, saya malah kebingungan sendiri. Bertanya kepada si A jawabannya ini, bertanya kepada si B jawabannya itu. Lalu saya ikut yang mana? Mana yang benar atau benar semua atau justru salah semua. Inilah yang membuat saya bingung. Kalau ada nabi 'kan bisa langsung dipercaya sebab dia membawa pesan langsung dari Tuhan. Walaupun di kehidupan mereka sangat terbatas: rumah selayaknya; pakaian itu-itu saja; makanan seadanya, tapi keselamatan hidup saya ini yang lebih penting. 

     Apalah artinya hidup di zaman yang secanggih ini kalau ujung-ujungnya merusak diri. Teknologi misalnya, setiap hari saya merasa terganggu dengan suara-suara mesin, sangat bising sekali. Mengganggu ketenangan saya. Sudah tahu kehidupan ini sangatlah berat malah ditambah dengan keributan perkakas mesin. Mau saya tegur tapi mereka sedang cari uang, toh juga saya tidak bisa mengganti apa-apa kepada mereka.

    Saya mengimpikan kehidupan yang jauh dari teknologi entah itu kendaraan bermotor, telepon genggam, dan perangkat elektronik lainnya. Paling-paling yang saya perlukan hanya listrik untuk menghidupkan lampu dan pompa air, itu pun dari tenaga alam. Saya ingin tinggal di area yang jauh dari ingar bingar keramain dunia modern, mungkin di pelosok desa atau di dekat gunung atau mungkin saja di tengah hutan. Kalau ingin bepergian itu pun hanya beberapa tahun sekali untuk menengok perubahan zaman yang modern ini. Apakah masih tetap sama atau bertambah parah? 

      Saya ingin memiliki pekarangan yang berisi ternak, syukur-syukur saya memiliki kuda untuk berkeliling kampung, bermacam sayuran, dan kebutuhan pokok lainnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah saya nanti kecil tidak apa-apa asal keluarga saya hidup dalam keharmonisan. Mungkin rutinitas saya dari subuh adalah bertani dan beternak agar dapat sinar matahari langsung biar badan saya sehat. Tidak seperti karyawan perkantoran yang duduk seharian menatap layar, memangnya tidak pegal dan bikin sakit mata apa? Menjelang siang saya istirahat dengan membaca buku sampai tertidur lalu sore harinya melanjutkan rutinitas pagi. Malamnya bercengkerama dengan anak dan istri. Sangat sederhana memang tapi kira-kira itulah yang membuat saya bahagia. Tidak ada yang perlu dikejar di dunia yang sementara ini. Saya akan hidup tanpa beban dengan udara yang segar dan air yang bebas polutan. Merasakan keheningan alam untuk menyucikan pikiran.

    Meninggalkan kehidupan sistem tak bertuhan adalah impian saya sejak lulus sekolah. Saya ingin menjauhkan keluarga saya dari berita yang mayoritas palsu dan makanan yang tidak sehat untuk tubuh. Mayoritas makanan di dunia ini sudah tidak layak lagi dikonsumsi oleh manusia, apalagi yang ada label kadaluarsanya. Sudah tercampur dengan zat-zat berbahaya. Yang sering memunculkan penyakit baru.

     Saya ingin kehidupan ini damai sejahtera tanpa adanya perselisihan, kemarahan, penipuan, dan tindak kejahatan lainnya. Saya khawatir keluarga saya menjadi korban dari kehidupan yang tidak pasti ini. Maka dari itu saya mengimpikan kehidup yang jauh dari peradaban manusia modern. Mungkin mirip dengan cara hidup orang desa yang memang benar-benar jauh dari infrastuktur kota. Situasianya masih asri.

       Saya tahu untuk hidup seperti ini memang sulit mewujudkannya, baik letak geografis dan siapa juga seorang perempuan yang ingin hidup bersama lelaki yang berlawanan arus dunia masa kini. Bagaimanapun juga entah itu terwujud atau tidak akan saya simpan dalam angan-angan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...