Langsung ke konten utama

Manusia modern

Manusia modern yang saya maksud adalah manusia yang hidup dalam kurun waktu dari abad ke-14 sampai sekarang. Itu berarti dari era renaisans sampai hari ini. Orang barat menganggap renaisans sebagai abad pencerahan karena dari situ  mereka mulai terlepas dari doktrin dan dogma agama atau bisa juga diartikan sebagai menjauhkan kehidupan manusia dari Tuhan. Mereka mengubah hukum Tuhan dengan rasionalitas. Saya menganggapnya bukan sebagai abad pencerahan melainkan abad penyempitan akal. Memangnya manusia bisa apa tanpa Tuhan? Kalau dipikir-pikir manusia modern semakin lama semakin hancur. Cara hidupnya semena-mena, sesuka nafsunya tanpa berpikir apa akibatnya. Manusia modern cenderung memilih cara yang cepat, yang instan, yang praktis, maka dari itu mereka tidak mengenal yang namanya kesabaran. Contoh kecilnya sering terjadi di sekolah dan di kampus. Para pelajar memilih cara pintas untuk mencari jawaban di mesin telusur web. Terburu-buru untuk mengejar hasil yang berupa angka-angka. Mereka tidak terbiasa dengan proses, tidak tahan membaca buku, tidak mau mencari referensi, tidak punya kemampuan untuk mengembangkan jawaban. Seenaknya saja menyalin tanpa mengerti apa yang mereka lakukan. Hidupnya benar-benar penuh kecurangan .

     Mereka, manusia modern, sama sekali tidak menghargai alam. Mereka sangat mengeksploitasi demi kesenangan sesaat. Mereka menganggap dirinya sebagai makhluk superior yang bebas berkuasa atas makhluk lain. Mereka menebas habis hutan-hutan lalu ditanami dengan bangunan-bangunan, dan jika terjadi bencana, mereka saling menyalahkan satu sama lain. Itu pantas mereka terima. Dipikirnya alam ini tidak punya sistematisasi. Bencana alam itu terjadi karena alam mencari keseimbangan akibat ulah manusia. Dipikirnya manusia saja yang ingin hidup lalu dengan serakahnya mengeruk tanah sedalam-dalamnya untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mempertimbangkan kedepannya. Mengelola kekayaan alam itu boleh tapi dipikir dengan bijak , jangan seenak udelnya.

    Semua dilahap kenyang, semua dipakai untuk memenuhi seleranya dan memperindah tubuhnya. Mereka malas sekali mencari tahu bahaya apa yang ada di dalam kandungan produk tersebut. Mereka mengabaikan kesehatan badannya. Yang terpenting baginya adalah pamor dan sanjungan orang lain. Manusia modern seolah-olah ingin mengganti rupa yang telah didesain oleh Pencipta. Mereka tidak puas dengan anugerah. Mereka ingin mencari cara sendiri untuk menentukan bentuk tubuhnya. Benar-benar tidak bersyukur manusia modern itu. Memperindah tubuh itu boleh-boleh saja tapi jangan sampai mengubah. Entah itu rambutnya yang diluruskan dan diwarna, kulitnya diputihkan, alisnya dikerok lalu dilukis, wajahnya dirias tebal dan kalau masih belum puas mereka perlu mengoperasinya. Cukup dirawat dan jangan dirusak.

    Mereka dikecoh dengan propaganda. Merasa dirinya serba kekurangan. Mereka hanya berpikir menggunakan kepala tetapi tidak dengan hati. Manusia modern ini membiarkan dirinya dibodohi oleh pihak-pihak internasionalis. Dicuci akalnya, disuguhkan tayangan yang tidak mendidik, didengarkan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Mereka terlalu percaya dengan informasi yang dibawakan oleh tokoh-tokoh yang menurut mereka kredibel tanpa mempertanyakan kembali realitasnya. Mudah sekali ditipu. Sepanjang hidupnya dipusatkan pada material. Uang menjadi tolok ukur utama martabat seorang manusia. Berlomba-lomba menjadi yang paling kaya. Mereka melalaikan cinta dan kasih sayang antar makhluk Tuhan. Bukankah kebaikan yang paling utama?

    Semakin lama semakin lemah. Bergantung pada ciptaannya sendiri. Sebentar-sebentar mengandalkan mesin pencari, sehingga daya berpikirnya tidak kuat berlama-lama. Jarak yang dekat lebih memilih menggunakan kendaraan bermotor daripada jalan kaki, mereka malas melatih otot-otot kakinya. Mereka sangat dimanja oleh kecanggihan teknologi sehingga manusia modern kehilangan keahliannya, ketahanan tubuhnya, kedaulatan berpikirnya. Teknologi yang mereka ciptakan, yang konon katanya mempermudah pekerjaan, justru melemahkan fungsi-fungsi organ manusia. Apalagi ini sudah berkembang kecerdasan buatan dan kepingan yang ditanam di bawah kulit. Akan jadi apa manusia modern ini?

     Sebegitu bergantungnya sampai-sampai mereka tidak mandiri dalam memilih pengobatan. Setahu saya penyakit itu berasal dari pikiran dan darinya juga yang mampu mengobati penyakit itu sendiri. Itu artinya, pengobatan itu sifatnya pribadi; primer, sedangkan pengobatan yang dilakukan oleh dokter beserta obat-obatnya itu sekunder. Kalau bisa saya itu jangan lagi menkonsumsi produk farmasi modern. Saya bukannya tidak menganggap produk dari farmasi modern itu tidak mampu mengobati, tapi saya sangat khawatir dengan efek yang disebabkannya. Menurut saya efeknya lebih parah dari penyakit yang diobati. Terkena flu saja sampai menelan 2-3 obat. Karena kebiasaan menelan obat ketika sakit, maka sel-sel di dalam tubuh menjadi kebal dari obat. Itu berarti diperlukan obat yang lebih "kuat" lagi untuk mengobati dan itu akan terus berulang sampai salah satu organ tubuh mengalami gangguan, misalnya ginjal. Karena ginjal manusia tidak mampu memfilter zat-zat kimia yang cenderung berbahaya. Lalu berobatlah ke rumah sakit dan bila perlu dengan cuci darah dan pasti menkonsumsi obat lagi. Karena keseringan mengkonsumsi obat maka organ lain terkena juga, mungkin jantung, begitu juga seterusnya sampai seluruh organ dalam tubuh manusia bermasalah dan tidak berfungsi, maka terjadilah apa yang disebut komplikasi, dan saya memang tidak mau menuruti kemewahan dunia ini yang berakibat seperti itu. Buat apa saya punya uang banyak tapi dihabiskan untuk membiayai pengobatan dan di sisa usia saya berbaring menderita di atas ranjang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...