Ruang tamu bergorden cokelat berhiaskan bordiran kupu-kupu dan bertirai putih di belakangnya itu kembali lengang. Wiyah masih duduk terpaku di seberang Rumi yang berhenti menjelaskan ceritanya. Pria manis berkumis tipis itu mengganti posisi duduknya. Kaki kiri diangkat lalu diletakkan menyilang di atas lutut kaki kanan. Tangan kiri masih tergeletak di lengan kursi, sedangkan lengan tangan kanan atas masih bertumpu, lalu membentuk siku dan keempat jari menutupi kumis tipisnya dan ibu jarinya menempel di dagu bagian bawah, sehingga seperti membentuk burung flamingo. Dilihatnya sinar matahari semakin terang agak panas dari balik kaca lebar ruang tamu yang menembus halaman samping rumah. Mereka berdua saling menatap pandangan, namun sesekali Rumi membuang pandangannya karena tidak kuat dengan keindahan kedua bola mata Wiyah. Rumi masih menunggu apa saja yang akan ditanyakan gadis ayu tersebut. Wiyah lalu melirik beberapa buku yang mencuat tepat di atas rambut hitam Rumi. Ingin ia tanyakan tapi samar-samar sebab terlalu kecil hurufnya. Tanpa berlama-lama Rumi melanjutkan penjelasannya.
"Yah, aku tidak bermaksud membawamu sampai konsep ketuhanan. Padahal sedari awal aku hanya ingin bercerita mengenai alasanku tidak mau melanjutkan sekolah atau bekerja."
Wiyah baru menyadari bahwa dia terhanyut jauh melampaui topik pembahasan awal, "Tidak perlu Rum, sebab aku yang penasaran dengan isi bukunya Abdurrahman Wahid. Aku juga baru sadar, padahal tujuanku ke sini ingin mendengarkan lebih lanjut mengenai alasanmu kenapa kamu tidak melanjutkan sekolah atau bekerja. Padahal dilihat dari wawasanmu kamu cukup mampu."
"Kalau kamu mau, kamu boleh membawanya pulang."
"Tidaklah, Rum."
"Kenapa?"
"Aku tidak punya kebiasaan membaca buku sepertimu. Membaca buku membuatku cepat mengantuk. Aku lebih suka buku bergambar."
"Majalah anak maksudnya?" Rumi terkekeh-kekeh mendengarnya.
"Jangan tertawa seperti itu, Rum. Aku malu."
"Tidak usah malu, Yah. Karena tidak ada orang lain selain kita di sini." Rumi mencoba memahami Wiyah, "Aku tahu penyebabnya. Dulu waktu di sekolah aku juga hampir tidak pernah membaca buku. Buku dari sekolah atau terbitan pemerintah memang memiliki bahasa yang kaku dan tidak nyaman dibaca. Mulai dari diksi, penyusunan kalimatnya sampai kualitas kertas yang buruk dan lumayan berat digenggaman. Apalagi yang aku paling benci adalah adanya soal latihan. Sangat membosankan. Dengan informasi yang terbatas, tetapi disuruh mengerjakan soal yang tidak keruan."
"Benar sekali, Rum." Wiyah menyetujui.
"Sampai akhir kelulusan aku hanya membeli tanpa pernah membaca, hanya memasukkan ke dalam tas yang membebani tulang-tulang punggungku. Sangat membuang waktuku pada masa itu."
"Lalu bagaimana kamu bisa tertarik membaca buku dan segila ini?"
"Yah, buku-buku di rumahku ini sejak aku balita sudah ada walaupun tidak sebanyak ini. Bapak mencoba berkali-kali membujukku tapi selalu gagal. Sampai pada suatu waktu aku merasa bosan karena hidup hanya seperti ini saja. Aku mencoba mencari referensi lain, mencari sudut pandang kehidupan yang berbeda. Lalu aku bertemu dengan buku yang membuat aku terkesan dan terkenang sampai entah kapan. Aku baca satu halaman, ternyata menyenangkan. Aku baca lagi berhalaman-halaman dan sampai pada epilog."
"Buku apa itu?" Wiyah menyela cerita Rumi.
"Ini akan terdengar aneh karena penulisnya dibenci oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia buku, akan tetapi dibalik kontroversinya dia tetap menjadi penulis dengan penjualan terbaik di negeri ini."
"Siapa sih?" Wiyah semakin penasaran.
"Kamu tentu pernah mendengarnya atau bahkan familiar dengannya. Beliau adalah Tere Liye dengan buku berjudul Rindu. Bukunya masih aku simpan dan aku letakkan di tingkat enam agar mudah dilihat orang dan syukur-syukur dibaca."
"Aku pernah mendengarnya, tapi tidak terpikirku dia adalah penulis."
"Yang kamu maksud bukan lagu dari india itu, kan?" Rumi bertanya sambil menyeringai.
"Lho, Tere Liye bukan dari india?"
"Bukan itu yang aku maksud, dia orang sumatera. Dia pakai nama samaran saja. Tidak tahu aku alasannya apa."
Wiyah tertawa kecil menertawakan ketidaktahuannya, "Dari sekian ribu buku yang ada kenapa Tere Liye yang mengubahmu?"
"Dari segi tema memang biasa-biasa saja. Dia memilih tema tentang usia anak-anak remaja, tapi teknik kepenulisannya itu yang membuatku tertarik lebih lanjut membaca buku-bukunya dan kecanduan dengan buku-buku lain. Bahasa yang digunakan itu indah sekali, diksinya bagus, penyusunan kata-katanya itu benar-benar melawan tata bahasa, sehingga mempermudahku untuk berimajinasi. Maklumlah dia orang melayu dan mayoritas kosa kata bahasa indonesia diserap dari bahasa melayu, sehingga dia tahu seluk-beluk bahasa indonesia." Rumi berbicara sambil tersenyum-senyum, "Jangan bandingkan dengan buku sekolah terbitan pemerintah, ya?"
"Tidaklah, aku sudah bisa membayangkannya, pasti jauhlah." Wiyah ikut tersenyum dan kedua bola matanya berbinar-binar."
"Yah, tidakkah sedikitpun keinginanmu untuk membaca buku?"
Wiyah terdiam sejenak dengan pertanyaan Rumi, "Mungkin setelah dari sini aku akan membaca buku."
Komentar
Posting Komentar