Langsung ke konten utama

Dialog antara dua "Aku" #8

     Ruang tamu bergorden cokelat berhiaskan bordiran kupu-kupu dan bertirai putih di belakangnya itu kembali lengang. Wiyah masih duduk terpaku di seberang Rumi yang berhenti menjelaskan ceritanya. Pria manis berkumis tipis itu mengganti posisi duduknya. Kaki kiri diangkat lalu diletakkan menyilang di atas lutut kaki kanan. Tangan kiri masih tergeletak di lengan kursi, sedangkan lengan tangan kanan atas masih bertumpu, lalu membentuk siku dan keempat jari menutupi kumis tipisnya dan ibu jarinya menempel di dagu bagian bawah, sehingga seperti membentuk burung flamingo. Dilihatnya sinar matahari semakin terang agak panas dari balik kaca lebar ruang tamu yang menembus halaman samping rumah. Mereka berdua saling menatap pandangan, namun sesekali Rumi membuang pandangannya karena tidak kuat dengan keindahan kedua bola mata Wiyah. Rumi masih menunggu apa saja yang akan ditanyakan gadis ayu tersebut. Wiyah lalu melirik beberapa buku yang mencuat tepat di atas rambut hitam Rumi. Ingin ia tanyakan tapi samar-samar sebab terlalu kecil hurufnya. Tanpa berlama-lama Rumi melanjutkan penjelasannya.

     "Yah, aku tidak bermaksud membawamu sampai konsep ketuhanan. Padahal sedari awal aku hanya ingin bercerita mengenai alasanku tidak mau melanjutkan sekolah atau bekerja."

     Wiyah baru menyadari bahwa dia terhanyut jauh melampaui topik pembahasan awal, "Tidak perlu Rum, sebab aku yang penasaran dengan isi bukunya Abdurrahman Wahid. Aku juga baru sadar, padahal tujuanku ke sini ingin mendengarkan lebih lanjut mengenai alasanmu kenapa kamu tidak melanjutkan sekolah atau bekerja. Padahal dilihat dari wawasanmu kamu cukup mampu."

     "Kalau kamu mau, kamu boleh membawanya pulang."

     "Tidaklah, Rum."

     "Kenapa?"

    "Aku tidak punya kebiasaan membaca buku sepertimu. Membaca buku membuatku cepat mengantuk. Aku lebih suka buku bergambar."

    "Majalah anak maksudnya?" Rumi terkekeh-kekeh mendengarnya.

    "Jangan tertawa seperti itu, Rum. Aku malu."

    "Tidak usah malu, Yah. Karena tidak ada orang lain selain kita di sini." Rumi mencoba memahami Wiyah, "Aku tahu penyebabnya. Dulu waktu di sekolah aku juga hampir tidak pernah membaca buku. Buku dari sekolah atau terbitan pemerintah memang memiliki bahasa yang kaku dan tidak nyaman dibaca. Mulai dari diksi, penyusunan kalimatnya sampai kualitas kertas yang buruk dan lumayan berat digenggaman. Apalagi yang aku paling benci adalah adanya soal latihan. Sangat membosankan. Dengan informasi yang terbatas, tetapi disuruh mengerjakan soal yang tidak keruan."

     "Benar sekali, Rum." Wiyah menyetujui.

     "Sampai akhir kelulusan aku hanya membeli tanpa pernah membaca, hanya memasukkan ke dalam tas yang membebani tulang-tulang punggungku. Sangat membuang waktuku pada masa itu."

     "Lalu bagaimana kamu bisa tertarik membaca buku dan segila ini?"

     "Yah, buku-buku di rumahku ini sejak aku balita sudah ada walaupun tidak sebanyak ini. Bapak mencoba berkali-kali membujukku tapi selalu gagal. Sampai pada suatu waktu aku merasa bosan karena hidup hanya seperti ini saja. Aku mencoba mencari referensi lain, mencari sudut pandang kehidupan yang berbeda. Lalu aku bertemu dengan buku yang membuat aku terkesan dan terkenang sampai entah kapan. Aku baca satu halaman, ternyata menyenangkan. Aku baca lagi berhalaman-halaman dan sampai pada epilog."

     "Buku apa itu?" Wiyah menyela cerita Rumi.

    "Ini akan terdengar aneh karena penulisnya dibenci oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia buku, akan tetapi dibalik kontroversinya dia tetap menjadi penulis dengan penjualan terbaik di negeri ini."

     "Siapa sih?" Wiyah semakin penasaran.

    "Kamu tentu pernah mendengarnya atau bahkan familiar dengannya. Beliau adalah Tere Liye dengan buku berjudul Rindu. Bukunya masih aku simpan dan aku letakkan di tingkat enam agar mudah dilihat orang dan syukur-syukur dibaca."

    "Aku pernah mendengarnya, tapi tidak terpikirku dia adalah penulis."

    "Yang kamu maksud bukan lagu dari india itu, kan?" Rumi bertanya sambil menyeringai.

    "Lho, Tere Liye bukan dari india?"

  "Bukan itu yang aku maksud, dia orang sumatera. Dia pakai nama samaran saja. Tidak tahu aku alasannya apa."

   Wiyah tertawa kecil menertawakan ketidaktahuannya, "Dari sekian ribu buku yang ada kenapa Tere Liye yang mengubahmu?"

    "Dari segi tema memang biasa-biasa saja. Dia memilih tema tentang usia anak-anak remaja, tapi teknik kepenulisannya itu yang membuatku tertarik lebih lanjut membaca buku-bukunya dan kecanduan dengan buku-buku lain. Bahasa yang digunakan itu indah sekali, diksinya bagus, penyusunan kata-katanya itu benar-benar melawan tata bahasa, sehingga mempermudahku untuk berimajinasi. Maklumlah dia orang melayu dan mayoritas kosa kata bahasa indonesia diserap dari bahasa melayu, sehingga dia tahu seluk-beluk bahasa indonesia." Rumi berbicara sambil tersenyum-senyum, "Jangan bandingkan dengan buku sekolah terbitan pemerintah, ya?"

     "Tidaklah, aku sudah bisa membayangkannya, pasti jauhlah." Wiyah ikut tersenyum dan kedua bola matanya berbinar-binar."

     "Yah, tidakkah sedikitpun keinginanmu untuk membaca buku?"

     Wiyah terdiam sejenak dengan pertanyaan Rumi, "Mungkin setelah dari sini aku akan membaca buku."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Perempuanku

  Apa yang tidak aku temukan dalam ilmu pengetahuan, aku temukan dalam dirimu. Seolah-olah aku merasa bahwa aku menemukan diriku dalam dirimu Dan ternyata kamu adalah perempuan yang selama ini aku cari Dan ternyata kamu adalah bunyi yang aku hayati setiap pagi Dan untuk pertama kalinya aku bersaksi bahwa tiada perempuan selain engkau.   Aku percaya bahwa Tuhan yang menciptakan perempuan secantik engkau adalah Tuhan Yang Mahabesar dan Maha Pengasih.

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...