Langsung ke konten utama

Tulisan-tulisan sampah

     Akhir-akhir ini saya agak lesu menulis sebuah wacana. Bukan karena kehabisan ide tetapi karena terlalu lama menanti momen-momen yang pas untuk mempublikasikannya. Saya khawatir saja bahwa tulisan saya tidak merepresentasikan suatu momentum, jadinya agak absurd. Kadang kala saya berpikir bahwa buat apa menulis, toh juga tidak menghasilkan pundi-pundi uang. Memang hal itu biasa membayangi saya, tapi entah kenapa kalau tidak menulis seperti ada yang kurang dalam kehidupan saya sehari-hari. Menulis seperti menjadi rutinitas wajib. Walaupun hanya sekadar tulisan pendek semisal puisi atau kumpulan opini yang berserakan. Setidaknya ada yang harus saya keluarkan dari pikiran.

     Yang menjadi problematika dalam menulis adalah judul yang saya buat tidak sesuai dengan tulisan dalam paragraf. Ini memang kontradiktif, tapi seperti inilah paradoksial kepenulisan saya. Seperti kata dosen sastra saya bahwa menulis itu bebas: orang boleh menulis sesuka hatinya, seenaknya, sebebasnya bahkan boleh melanggar elemen-elemen literatur, misalnya tanpa klimaks, antiklimaks, atau tanpa koda, penutup cerita, atau misalnya tiba-tiba di tengah cerita langsung selesai, tapi jangan gusar jika dikritik pembaca karena mereka pun punya hak untuk menilai suatu tulisan. Justru ini yang membuat saya leluasa dalam menulis, karena tidak ada batasan konten dan struktur yang absolut.

     Kali ini saya akan menjabarkan judul artikel saya. Sudah satu bulan saya menulis berbagai macam genre, entah itu cerita pendek, opini, puisi kalaupun itu sah disebut sebagai puisi. Ada perasaan yang aneh ketika saya mempublikasikan tulisan: saya merasa seperti ditelanjangi di depan umum karena orang akan tahu seperti apa saya sebenarnya. Tanpa ada sehelai pun yang menutupi wujud asli saya, tapi mau bagaimana lagi saya terlanjur kecanduan bak perokok yang tidak bisa menjauhkan bibirnya dari selinting tembakau. Ketika saya selesai saya merasa lega, karena telah mengeluarkan kotoran dalam otak saya. Agak malu tapi enak juga.

     Kalau diamati dengan saksama tulisan saya belumlah utuh. Ketika saya menguraikan ide-ide saya, masih ada sesuatu yang tertinggal; belum tersampaikan secara lengkap. Padahal saya sudah berusaha merenungkan masak-masak tulisan saya. Biasanya saya menulis mentahannya di pagi hari dan saya tinjau kembali ketika malam, agar ada banyak waktu untuk mengingat-ingat ide yang tertinggal. Setelah saya periksa berkali-kali dan saya mantapkan baru saya publikasikan. Anehnya baru beberapa hari atau minggu saya menyadarinya, dan ini sebenarnya ada hikmah di balik kesalahan saya. Saya bisa menguraikan kembali dalam tulisan yang lain, dan setiap harinya selalu saja ada ide-ide yang muncul dari ketidaklengkapan tulisan saya sebelumnya. Saya seperti menutupi celah, walaupun ketika saya menutupi, saya yakin akan ada celah lagi dalam tulisan saya berikutnya. Ya seperti itulah ilmu pengetahuan, selalu saja belum sempurna dan harus dikembangkan, dan menulis adalah kegiatan untuk mengabadikan ilmu pengetahuan. Kalau tidak tertulis, apa yang pernah digagas otak manusia sejak ribuan tahun lampau tidak akan pernah diketahui generasi sekarang.

     Saya menyadari apa yang saya tulis akan menimbulkan pro dan kontra, karena masing-masing isi kepala manusia pasti berbeda. Mungkin saja akan menimbulkan kemarahan bahkan mungkin juga kecaman bagi pihak yang kontra, maka dari itu saya menganggap tulisan-tulisan saya ini sampah, tapi tidak apalah, saya tidak punya hak untuk menuntut orang agar menyukai tulisan saya. Setidaknya saya sudah berbagi sudut pandang pemikiran dan menurut saya itu lebih baik daripada saya tidak menulis sama sekali. Bagus dan buruk memang relatif. Selama saya menjadi pembaca saya menganggap bahwa tidak ada tulisan yang buruk karena tulisan yang buruk adalah tulisan yang tidak pernah ditulis dan dipublikasikan. Kalaupun saya tidak memahami apa yang saya baca itu bukan kualitas tulisan seseorang yang buruk melainkan saya sendiri yang belum mampu menjangkau pemikiran seorang penulis.

     Saya akan terus menulis sampai kapan pun dan apa saja akan saya tulis agar menjadi bagian dari perjalanan hidup saya. Waktu terus berjalan dan hari terus berganti, usia saya semakin lama semakin bertambah. Itu berarti sisa waktu saya terus berkurang, tidak ada yang saya tinggalkan di kehidupan ini kecuali tulisan-tulisan saya. Biarkanlah sampah-sampah yang saya buat ini suatu saat menjadi pupuk untuk menyuburkan kehidupan umat manusia yang lebih baik, sehingga menghasilkan buah yang segar yang mampu belajar dari kesalahan-kesalahan generasi sebelumnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...