"Karena kekecewaannya pada pemeluk agama, maka dia bertanya-tanya jika Tuhan maha segala kebaikan mengapa Dia membiarkan kehancuran, kekacauan, dan kejahatan. Mengapa Tuhan tidak menghilangkan saja semuanya itu dengan kekuasaan-Nya. Maka dari itu para ateis menyimpulkan bahwa Tuhan itu tidak ada." Sambung Rumi masih bersandar di punggung kursi. "Sekali lagi, Yah. Jangan dikira karena keterbatasan otak kita lalu menyimpulkan bahwa sesuatu yang kita tidak tahu itu pasti tidak ada." "Kenapa manusia dibatasi, Rum?" "Kalau manusia tidak dibatasi dan tahu semua, buat apa Tuhan jadi Tuhan? Sedangkan manusia sudah tahu semuanya tanpa terkecuali. Contoh kecilnya seperti ini, Yah, jika akal kita tidak dibatasi. Bayangkan kamu memiliki sahabat yang sudah lama kamu kenal dan percaya, ke mana-mana dengan dia, apa-apa cerita dengan dia, lalu setelah kamu ceritakan semuanya kepadanya tanpa sedikit pun yang tertinggal termasuk aib-aib, dia mengkhian...
Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...