Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2021

Dialog antara dua "Aku" #7

     "Karena kekecewaannya pada pemeluk agama, maka dia bertanya-tanya jika Tuhan maha segala kebaikan mengapa Dia membiarkan kehancuran, kekacauan, dan kejahatan. Mengapa Tuhan tidak menghilangkan saja semuanya itu dengan kekuasaan-Nya. Maka dari itu para ateis menyimpulkan bahwa Tuhan itu tidak ada." Sambung Rumi masih bersandar di punggung kursi. "Sekali lagi, Yah. Jangan dikira karena keterbatasan otak kita lalu menyimpulkan bahwa sesuatu yang kita tidak tahu itu pasti tidak ada."      "Kenapa manusia dibatasi, Rum?"     "Kalau manusia tidak dibatasi dan tahu semua, buat apa Tuhan jadi Tuhan? Sedangkan manusia sudah tahu semuanya tanpa terkecuali. Contoh kecilnya seperti ini, Yah, jika akal kita tidak dibatasi. Bayangkan kamu memiliki sahabat yang sudah lama kamu kenal dan percaya, ke mana-mana dengan dia, apa-apa cerita dengan dia, lalu setelah kamu ceritakan semuanya kepadanya tanpa sedikit pun yang tertinggal termasuk aib-aib, dia mengkhian...

Dialog antara dua "Aku" #6

     "Apa saja hal-hal yang kita tahu dan yang kita tidak tahu, Rum?" Wiyah masih ingin mendengarkan penjelasan Rumi lagi. Dia masih penasaran tentang sesuatu yang sifatnya melampaui batasan diri.      "Hal yang kita tahu itu semua yang bisa kita jangkau dengan panca indera dan akal pikiran kita, seperti manusia, air, hewan, pepohonan. Sedangkan yang kita tidak tahu itu hanya bisa dijangkau dengan hati, misalnya Tuhan, malaikat, jin, iblis, roh, jiwa, surga, neraka, dan masih banyak lagi."     "Kenapa harus dengan hati, Rum?"     "Karena keyakinan itu letaknya di hati, bukan hanya sekadar di pikiran apalagi hanya keluar dari mulut." Rumi mencoba menjelaskan dengan singkat. "Yang jadi masalah dari seluruh peradaban umat manusia adalah mereka memaksakan semua hal itu harus bisa diukur dengan isi kepala, jika tidak maka hal itu tidak ada. Misalnya seperti alam barzah, beberapa orang tidak percaya akan adanya pertanyaan di alam kubur, karena...

Dialog antara dua "Aku" #5

     "Yah, bisakah kita bertemu sekarang?"      "Bisa, Rum."      Tidak seperti biasa, kali ini Wiyah membalas pesan dari Rumi begitu cepat. Mungkin Wiyah benar-benar tertarik dengan prinsip hidup Rumi. Mungkin bulan kemarin Wiyah tidak memiliki waktu luang untuk menemui Rumi, karena tugas akhir banyak memakan waktu untuk menyelesaikannya. Maklum saja Rumi bukanlah satu-satunya teman yang dimiliki Wiyah. Kalaupun Wiyah memiliki waktu luang, maka dia perlu membagi rata untuk orang-orang di sekelilingnya.      "Tapi kali ini aku saja yang ke rumahmu, Rum, bolehkah?"      "Dengan terbuka lebar pintu rumahku untukmu, Yah."      Sekitar lima belas menit, Wiyah tiba di teras rumahnya Rumi. Tanpa perlu Wiyah mengucap permisi, Rumi sudah menanti di kursi teras mempersilakan Wiyah masuk ke ruang tamu. Rumi menyuruhnya memarkirkan di bawah pohon beringin di samping rumah Rumi. Mereka berjalan menuju pintu ru...

Dialog antara dua "Aku" #4

     Pembahasan seperti itu memang tidak bisa disampaikan dalam satu masa saja, sebab stamina otak manusia punya batas ketahanan tertentu dalam menerima suatu informasi. Mungkin butuh bertahun-tahun agar bisa memahami maksud dan karakter Rumi. Dia tahu untuk menjelaskan prinsip hidup, terlebih perempuan seperti Wiyah memang harus bertahap. Bukan karena semata-mata Rumi ingin memandang dan berlama-lama dengan Wiyah, tapi Rumi khawatir jika Wiyah gagal memahami dan menganggap Rumi sebagai seseorang yang mengidap paranoia. Memang apa yang dibicarakan Rumi di luar kewajaran pemuda, tapi kalau dilihat-lihat dari ekspresi dan ketertarikan Wiyah, Rumi menganggap Wiyah mampu menjangkau segala apa yang ada di isi kepala Rumi. Sepertinya Rumi bisa melanjutkan lebih jauh lagi tentang pemikirannya. Tidak mungkin Rumi mengkonsumsi sendiri tanpa berbagi kepada orang lain. Memang benar otak manusia punya daya simpan tak terbatas, tapi itu tergantung bagaimana mengelolanya. Informasi itu...

Dialog antara dua "Aku" #3

    "Rum, apa yang kamu katakan itu ada benarnya." Sambil memetik daun yang telah menguning dan menengok ke arah pintu, memastikan tidak ada orang selain mereka. Dengan pelan-pelan Wiyah berkata, "Aku juga merasa hal yang sama. Aku kuliah pun bukan karena permintaanku. Aku hanya menuruti permintaan ibuku. Sejujurnya aku lebih senang langsung bekerja saja, dan jurusan yang dipilih pun tidak sesuai dengan minatku. Aku suka bertani, bertanam, beternak. Aku malas bertemu dengan angka-angka dan tuntutan tugas yang tidak kira-kira, tapi ketika ibu sudah meminta hal seperti itu, apalah dayaku menolaknya. Tidak berani sedikit pun membantahnya dan tidak tega bila ibu menangis atas penolakanku. Maka dari itu aku turuti saja, siapa tahu Tuhan mempermudah segala urusanku."     "Yah, mulia sekali dirimu. Bahkan aku pun tidak sanggup melakukan hal semacam itu. Aku hanya bisa melakukan sesuatu apa yang aku mau dan apa yang aku suka. Tidak peduli siapa yang menyuruhku, akan ak...

Dialog antara dua "Aku" #2

     Rumi duduk di tangga rumahnya menghadap utara di depan ranting daun pohon mangga, matahari di sebelah kanan. Udara pagi masih segar, sinar surya yang begitu hangat setelah malam yang dingin. Segelas air putih di samping kirinya dan bacaan buku Pramoedya. "Apakah kemarin aku salah jika aku menceritakan kepada Wiyah?" Tanya Rumi dalam hati. "Atau tidak usah aku lanjutkan saja? Tapi Wiyah sudah terlanjur penasaran dengan penjelasanku. Sepertinya aku merasa lebih bersalah jika tidak dilanjutkan." Seperti biasa Rumi pemuda yang sering ragu dengan segala tindakannya. "Mungkinkah Wiyah tidak sibuk di akhir pekan? Mungkin saja."      Rumi segera turun dari tangga rumahnya menuju kamar tidurnya, mengambil telepon genggam di atas meja yang dipenuhi tumpukan buku yang masih banyak belum dibaca. Dia mencari nomor telepon Wiyah, agak ragu kalau-kalau Wiyah sibuk. Rumi tahu Wiyah pasti mau tapi tidak enak bila Rumi mengganggu kesibukan Wiyah. Rumi menutup mata, ber...

Dialog antara dua "Aku" #1

       "Aku ini bagaimana ya kok tidak jelas gini."     "Tidak jelas bagaimana Rum?" Tanya Wiyah terduduk sambil memperhatikan Rumi yang berdiri di depannya.      "Tidak jelas saja, aku juga tidak tahu penyebab ketidakjelasannya?" Dengan tatapan kosong Rumi menjawab      "Nah, aku lihat kamu baik-baik saja."     "Iya, itu kalo kamu lihat dari tampilanku saja. Padahal di dalam pikiranku ini kacau semua." Celetuk Rumi yang duduk sebangku di sebelah Wiyah.     "Ah, yang benar saja. Sekacau apa sih?   "Mungkin ini lho, kira-kira, berdasarkan yang aku rasakan. Aku merasa aku ini gagal menjadi manusia. Lihat teman-temanku: kehidupannya mapan; punya jenjang karir; masa depan cerah; uang banyak. Sedangkan aku?" Dengan raut muka kebingungan mengarah pada Wiyah yang tidak tahu apa-apa. "Tidak jadi apa-apa 'kan?     Wiyah lamat-lamat menatap penuh perhatian mendengarkan kegelisahan Rumi yang tidak keruan...

Kenapa hanya engkau?

Aku bingung kenapa hanya engkau yang membuatku terpana, terpesona, terkesima Kenapa engkau seorang yang mampu membuatku tergila-gila. Rela menunggu sekian lama padahal tidak pasti pula mau tidaknya dirimu Bukankah aku bisa memilih? Tetapi kenapa keindahanmu menutupi perempuan lain?

Toleransi dalam sepak bola

     Saya sendiri agak bingung dengan keimanan para penggemar bola masa kini. Bagaimana bisa mereka mencintai dua atau lebih tim sepakbola. Jujur saja saya tidak bisa. Saya hanya bisa fokus kepada yang satu. Saya menerima dan menjalani apa yang Tuhan pilihkan. Kalau kata Friedrich Nietzsche ini adalah amor fati . Yah walaupun sulit tapi di situlah letak keteguhan seseorang. Jika diibaratkan binatang, bagaimana mungkin seekor ayam ingin menjadi kambing atau seekor kambing ingin menjadi ayam. Masak ada ayam yang mengembik atau kambing yang berkokok? Itukan di luar kemampuannya, atau jangan-jangan mereka terjebak dalam arus liberalisme, kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa ada filter sebagai penyeleksi sesuatu yang harus dan tidak perlu dilakukan, atau mereka tidak memahami toleransi?         Toleransi itu seperti ini, saya mendukung tim kebanggaan saya tanpa memintamu untuk mendukung tim kebanggaan saya dan kamu mendukung tim kebanggaanmu tanpa mem...

Don't hate what you don't understand!

       Akan saya tutup telinga saya jika engkau melegitimasi apa yang ada di dalam pikiranmu dan apa yang engkau katakan sebagai kebenaran mutlak. Sebab kecuali Tuhan, pemegang mutlak kebenaran, adalah berdasarkan sudut pandang dari mana engkau lihat dan engkau dengar. Aku tidak peduli siapa engkau entah itu anak sekolah, dosen, ulama, atau pernah sekolah di mana, lulusan perguruan tinggi mana, bergelar apa, berkedudukan apa, bekerja di mana dan pernah melakukan apa. Selama engkau manusia, engkau tetaplah makhluk yang beropini, termasuk saya juga. Walaupun ada pengecualian yaitu para utusan tuhan. Dan tidak usahlah engkau melarang orang lain untuk beropini sebab itu adalah kebebasan dari tuhan agar makhluknya berpikir. Bukankah syarat utama beragama adalah berpikir?        Dan anehnya kenapa manusia saling melarang untuk beropini, kalaupun boleh harus menunggu sampai mendapat gelar tertentu. Bukannya ilmu pengetahuan yang mereka dapat juga berasal...

Sialnya aku

Meriang aku meriang terngiang-ngiang figurmu yang ayu. Mengingat engkau yang selalu membayang melayang-layang di pikiranku sepanjang malam, pagi, siang, dan entah sampai kapan. Betapa menyedihkan hidupku menanggung beban rindu yang tak kunjung bertemu. Bisakah kita bertemu sekarang? Ah, sepertinya tidak mungkin bila engkau mau. Sepertinya aku bukan harapanmu. Entah kemana lagi aku cari penggantimu. Bukankah Tuhan hanya menciptakan satu dan sepertinya adalah kamu. Menggigil sekujur tubuhku sepertinya aku terkena pilu dan sialnya kamu penawarku Merenung, risau, bingung, gelisah, resah.

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Masih lama ya?

Ketika engkau tiada, aku harus berbuat apa. Menunggumu lagi seperti musim kemarin? Masa-masa yang menyiksa untukku seorang pecandu bola. Tanpa kehadiranmu dan kini engkau sedang apa? Tak inginkah engkau kembali ke tanah lapang rumput bersemi? Persijap, masih lama ya? Liga tak jelas di negeri ini, jadwal tak teratur, seenaknya ganti sana ganti sini Yah mau bagaimana lagi?

Orang-orang di belakang gawang

        Waktu itu aku masih putih abu-abu, tidak terasa lima tahun berlalu dan kini hanya tersisa ingatan semu. Aku dapat kabar kurang seminggu orang-orang di belakang gawang akan menuju Kota Rembang. Segala serba-serbi aku persiapkan: tas, bom asap, dan pakaian yang pantas aku kenakan. Itu laga tandang pertamaku mengawal kebanggaan ke kota lawan. Setelah penantian panjang, setelah impian sejak sepuluh tahun silam, setelah berminggu-minggu aku sisihkan uang jajan dan akhirnya menjadi kenyataan. Iya benar sekali mengawal Persijap di laga tandang. Keinginan yang aku pendam dalam-dalam sebagai bukti rasa cinta. Mungkin suatu saat nanti aku perlu berkunjung ke pulau seberang untuk membuktikan lebih besar lagi perasaanku.       Aku tanya pada teman karibku dengan penuh harapan menemaniku "Jadi ikut tidak?" Lalu jawabnya dengan murung, "Tidak dikasih izin bapakku." Mungkin berbeda dengan bapakku yang memiliki hasrat untuk mengikuti di laga tandang waktu muda...

Tak lagi meragu

Tentang waktu yang kubuang yang tak mungkin aku kembali. Tentang nasibku yang malang menjalani hidup yang hanya sekali. Sampai kapan aku meratapi penyesalan yang menghantui. Sampai kapan aku hidup dalam kebingungan, impian masa lalu yang mustahil aku wujudkan. Tuhan, ampuni aku atas ketidaksabaran dan ketidaktahuanku. Tuhan, mulai sekarang aku ikut jalanmu. Tak lagi meragu sampai engkau memintaku pulang.

Kalah

Ketika peluit ditiup aku selalu ragu, engkau akan membawa angka atau justru dibikin malu. Entah di kandang atau sebagai tamu. Aku sendiri selalu khawatir ketika bola di muka gawang. Mungkin saja blunder atau sekadar hoki. Berharap bola segera keluar dari area pertahanan. Semakin kencang dada ini berdebar. Disepak jauh beruntung berbuah angka, jika sebaliknya menembus batas akhir menampar jala, ritus-ritus kolega menaruh kedua tangan di atas kepala memasang waajah kecewa.

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...

Kalah

Ketika peluit ditiup aku selalu ragu, engkau akan membawa angka atau justru dibikin malu. Entah di kandang atau sebagai tamu. Aku sendiri selalu khawatir ketika bola di muka gawang. Mungkin saja blunder atau sekadar hoki. Berharap bola segera keluar dari area pertahanan. Semakin kencang dada ini berdebar. Disepak jauh beruntung berbuah angka, jika sebaliknya menembus batas akhir menampar jala, ritus-ritus kolega menaruh kedua tangan di atas kepala memasang waajah kecewa.