Langsung ke konten utama

Dialog antara dua "Aku" #4

     Pembahasan seperti itu memang tidak bisa disampaikan dalam satu masa saja, sebab stamina otak manusia punya batas ketahanan tertentu dalam menerima suatu informasi. Mungkin butuh bertahun-tahun agar bisa memahami maksud dan karakter Rumi. Dia tahu untuk menjelaskan prinsip hidup, terlebih perempuan seperti Wiyah memang harus bertahap. Bukan karena semata-mata Rumi ingin memandang dan berlama-lama dengan Wiyah, tapi Rumi khawatir jika Wiyah gagal memahami dan menganggap Rumi sebagai seseorang yang mengidap paranoia. Memang apa yang dibicarakan Rumi di luar kewajaran pemuda, tapi kalau dilihat-lihat dari ekspresi dan ketertarikan Wiyah, Rumi menganggap Wiyah mampu menjangkau segala apa yang ada di isi kepala Rumi. Sepertinya Rumi bisa melanjutkan lebih jauh lagi tentang pemikirannya. Tidak mungkin Rumi mengkonsumsi sendiri tanpa berbagi kepada orang lain. Memang benar otak manusia punya daya simpan tak terbatas, tapi itu tergantung bagaimana mengelolanya. Informasi itu seperti makanan dalam perut. Ketika seseorang makan, dan makanan tersebut diproses di dalam perut maka suatu saat pasti orang tersebut harus mengeluarkan ampas dari proses pencernaan atau biasa disebut feses. Begitu juga ketika orang menerima informasi dari mendengarkan atau membaca, suatu ketika dia harus mengeluarkan informasi tersebut, entah dari berbicara atau menulis agar tidak mengendap dalam otak. Itu bukan berarti cara tersebut serta merta untuk menghilangkan informasi, tetapi agar otak memiliki keluwesan dalam memilah-milah ilmu pengetahuan. Jika tidak, otak akan mengalami gangguan psikis, itu sama halnya dengan orang yang hanya mau makan tetapi tidak mau berak. kedua proses tersebut benar-benar organik dan alamiah, tidak bisa dihindari.

     Kemampuan mengingat bukan satu-satunya cara agar orang tersebut memiliki kebijaksanaan. Orang-orang yang bekerja di lembaga populer memang memiliki tingkat ingatan dan kecerdasan yang luar biasa, tapi kedua hal tersebut tidak cukup. Jika hanya karena ingatan dan kecerdasan saja, mesin telusur web lebih cerdas dari mereka, tapi ada satu hal yang jarang dimiliki manusia sekarang dari segi kecerdasan kognitif, kemampuan untuk menghubungkan satu cabang ilmu pengetahuan dengan cabang ilmu pengetahuan lainnya secara menyeluruh. 

    Rumi meneguk air putihnya seraya berpikir sejenak. Melihat dirinya di pantulan cermin. Memperhatikan wajahnya yang berubah seiring bertambahnya usia. Rumi, pria manis berkumis tipis, mengira bahwa waktu berjalan begitu cepat. Masih merasa dirinya bersekolah di taman kanak-kanak. Diantar kakak perempuannya sampai di batas pagar sekolah. Masa kecil Rumi memang penuh kenangan layaknya teman-temannya pada umumnya, tapi bagi Rumi, walaupun kenangan tersebut biasa-biasa saja, dia tidak bisa membiarkan masa lalu pergi dari ingatannya, maka dari itu Rumi sangat sulit untuk menghadapi masa depan. Rumi berjalan keluar rumah untuk mencari udara segar. Berlama-lama di dalam kamar tidak baik untuk kesehatannya.

      Untuk kali ini Rumi sengaja tidak mengirim pesan kepada Wiyah. Rumi ingin memastikan seberapa besar ketertarikan Wiyah pada prinsip hidupnya.

     Hari pertama tidak ada pesan, begitu juga hari kedua, ketiga, sampai satu bulan lamanya. Dugaan Rumi salah, Wiyah tidak tertarik. Seperti biasa hari-harinya dihabiskan untuk membaca buku-buku. Satu kutipan yang membuatnya merasa lega dan lebih dekat dengan Tuhan adalah dari autobiografinya Mahatma Gandhi, seorang negarawan revolusioner tanpa kekerasan dan cinta kebenaran, "Saya pikir merupakan hal yang salah untuk mengharapkan kepastian di dunia ini, sebab segalanya kecuali Yang Mahabenar adalah ketidakpastian. Segala yang muncul dan terjadi di sekeliling kita adalah hal yang tak pasti, fana. Namun ada Hal Besar Yang Tersembunyi di dalamnya yang disebut kepastian, dan seseorang akan diberkahi jika ia bisa menangkap kilasan Kepastian itu lalu menggantungkan harapannya di sana. Pencarian Kebenaran merupakan kehidupan yang terbaik."

     Suatu waktu Rumi ke pantai, sudah terlalu lama Rumi tidak ke sana, kira-kira hampir dua tahun lamanya. Bukan karena jarak pantai dan rumahnya yang jauh, memang Rumi sendiri yang malas. Toh juga cari apa di pantai, hanya angin dan suara debur ombak, tapi untuk sore ini, Rumi merasa perlu ke sana, tidak tahu kenapa. Sesampainya di sana Rumi melepas kedua sandalnya, ingin bersentuhan langsung dengan pasir putih dan air laut yang jernih. Dia memperhatikan horison laut yang datar dan amat jauh dari tempatnya berdiri. Terbesit dalam pikirannya, "Kenapa aku tidak bisa melihat kenampakan di balik horison tersebut dan apakah itu karena efek lengkungan bumi atau jarak pandang mataku yang terbatas?" Selang beberapa waktu menuju petang, dua motor berboncengan menghampiri Rumi. Satu dari keempat perempuan itu adalah Wiyah. Rumi pasti terkejut, terbelalak matanya, bagaimana tidak.

    "Rum, kenapa kamu tidak melanjutkan ceritamu?"

    "Aku kira kamu tidak terlalu tertarik, sudah satu bulan lebih kamu tidak mengirim pesan padaku."

    "Bisakah kamu lanjutkan di sini?"

   "Tidak mungkin Yah, matahari sebentar lagi terbenam." Alasan Rumi tetap sama, tidak yakin ketiga teman Wiyah mampu menerima cerita Rumi. "Mungkin esok atau lusa."

    "Baiklah Rum, aku tunggu pesan ajakan darimu."

   Cakrawala melahap bulat-bulat sang surya, mengakibatkan langit menjadi agak kemerahan. Bagian langit timur telah berubah menjadi abu-abu kehitaman. Rumi bersama Wiyah dan ketiga temannya meninggalkan pantai beserta tanda tanyanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...