Rumi duduk di tangga rumahnya menghadap utara di depan ranting daun pohon mangga, matahari di sebelah kanan. Udara pagi masih segar, sinar surya yang begitu hangat setelah malam yang dingin. Segelas air putih di samping kirinya dan bacaan buku Pramoedya. "Apakah kemarin aku salah jika aku menceritakan kepada Wiyah?" Tanya Rumi dalam hati. "Atau tidak usah aku lanjutkan saja? Tapi Wiyah sudah terlanjur penasaran dengan penjelasanku. Sepertinya aku merasa lebih bersalah jika tidak dilanjutkan." Seperti biasa Rumi pemuda yang sering ragu dengan segala tindakannya. "Mungkinkah Wiyah tidak sibuk di akhir pekan? Mungkin saja."
Rumi segera turun dari tangga rumahnya menuju kamar tidurnya, mengambil telepon genggam di atas meja yang dipenuhi tumpukan buku yang masih banyak belum dibaca. Dia mencari nomor telepon Wiyah, agak ragu kalau-kalau Wiyah sibuk. Rumi tahu Wiyah pasti mau tapi tidak enak bila Rumi mengganggu kesibukan Wiyah. Rumi menutup mata, berpikir sejenak lalu berdoa agar Tuhan memberinya petunjuk. "Iya sepertinya ini saat yang tepat." Kata Rumi dengan percaya.
"Yah, bisa bertemu sekarang?" Setengah jam berlalu, tapi pesan Rumi belum dibalas. "Sudah kuduga Wiyah sibuk kali ini. Tidak sepatutnya aku mengganggunya." Ketus Rumi agak menyesal telah mengirim pesan kepada Wiyah. Hingga dua jam kemudian Wiyah membalas. "Bisa Rum, di rumahku saja, biar kamu gantian berkunjung ke tempatku."
"Yah, kamu beneran tidak sibuk 'kan?"
"Tidak, Rum. Kamu mau melanjutkan ceritamu yang kemarin 'kan?
"Benar, Yah."
Rumi memang pengangguran tapi bangunnya selalu pagi, lebih awal dari terbitnya matahari. Waktu menjelang fajar adalah yang paling istimewa menurut Rumi. Bukan hanya karena siaran bola dan kesejukan udara, tapi kesunyian yang selalu membuat pikiran Rumi tenang. Rumi segera memanasi motor yang jarang digunakannya di halaman samping rumah.
Wiyah yang masih menunggu Rumi sambil menyirami bunga kamboja yang terjejer rapi di belakang rumahnya, selang beberapa waktu terdengar suara ibunya memanggil. "Itu pasti Rumi." Wiyah menduga dengan seyakin-yakinnya. Memang benar, Rumi, mengenakan kaos hitam bercelana panjang berwarna khaki, bersandal selop hitam terpampang di teras.
"Silakan masuk Rum."
"Terima kasih Yah, tapi di luar saja ya. Seperti tamu beneran saja."
"Memang kamu tamu kok. Jangan di luar, berisik, banyak motor lalu lalang. Ke belakang rumahku ya, sambil menyiram bunga."
Rumi mengiyakan ajakan Wiyah. Melepas sandal, masuk ke rumahnya yang seperti lorong karena begitu gelap. Rumi sampai di pintu belakang rumah. Dibukanya oleh Wiyah, agak kagum, Rumi melihat bunga dan tanaman yang tertata rapi di pekarangan yang cukup luas.
"Ini semua kamu yang rawat?"
"Tidaklah, mana sanggup aku merawatnya sendirian. Kalau aku di luar kota, bapak dan ibu yang mengurusnya. Kebetulan saja aku di rumah, jadi bisa bantu-bantu. Ini Rum pakai saja sandal bapakku."
Rumi menuruni anak tangga, berjalan di antara barisan pot-pot bunga di samping kanan-kiri mereka berdua.
"Jadi bagaimana, Rum, kelanjutannya?"
"Yah," Suara pelan dan bernada ragu, "Dunia ini begitu kejam. Banyak orang-orang baik disingkirkan. Yah, dunia ini sudah begitu parahnya. Orang tidak lagi mementingkan kebutuhan rohaninya. Semua sibuk memperindah tubuhnya."
"Termasuk aku, Rum?"
"Tidak Yah, kamu orang yang sederhana dan bersahaja," Rumi melanjutkan penjelasannya, "Mereka lupa tubuh ini hanya sementara dan bisa rusak seketika, tapi jiwa akan berlanjut sampai entah, sepertinya tidak ada batas waktunya. Yah, aku takut akan adanya pertanggungjawaban, akan aku jawab apa nantinya, maka dari itu aku sangat hati-hati memilih suatu tindakan. Salah langkah sangat besar resikonya. Tentang kuliah itu aku menganggap bahwa orang-orang tidak murni mencari ilmu pengetahuan. Itu bukan tujuan utama mereka. Tujuan mereka mencari beberapa lembar kertas berangka, maka dari itu rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Tidak memahami, tidak serius, hanya berangkat, mengisi presensi, mengerjakan tugas pun masih menyontek. Kalau diteruskan bisa hancur masa depan umat manusia. Dipenuhi generasi korup dan tidak berkompeten dan aku pun tidak mau menjadi bagian dari mereka."
Wiyah menengok ke belakang, merasa ada yang salah dengan cara berpikirnya Rumi, "Rum, bukankah kamu bisa mengambil ilmu dari kuliah tanpa harus mengikuti cara-cara tadi, lalu kamu terapkan di mana saja?"
"Aku mungkin bisa, Yah. Tapi ada satu kendala?" Rumi menyela pendapat Wiyah, "Kalau hanya mencari ilmu, itu tidak perlu aku kuliah. Ilmu itu letaknya di mana-mana. Di jalan-jalan, di laut, di gunung-gunung. Tidak harus dengan para sarjana, mengobrol dengan petani pun kalau kita bisa menganalisa setiap perkataannya bisa menjadi ilmu. Ilmu di bangku sekolah itu hanya sedikit dan itu masih tergolong rendah. Yang di sekolah itu baru ilmu penghidupan bukan kehidupan. Kita hanya diajari untuk mencari keuntungan materi bukan rohani. Akibatnya banyak orang saling sikut-sikutan."
"Rum, apakah aku juga?"
"Yah, pertanyaanmu itu dengan berat hati aku jawab." Rumi tertunduk lesu menyangkal pertanyaan Wiyah. "Itu tergantung setelah lulus kuliah kamu maunya bagaimana."
Komentar
Posting Komentar