Waktu itu aku masih putih abu-abu, tidak terasa lima tahun berlalu dan kini hanya tersisa ingatan semu. Aku dapat kabar kurang seminggu orang-orang di belakang gawang akan menuju Kota Rembang. Segala serba-serbi aku persiapkan: tas, bom asap, dan pakaian yang pantas aku kenakan. Itu laga tandang pertamaku mengawal kebanggaan ke kota lawan. Setelah penantian panjang, setelah impian sejak sepuluh tahun silam, setelah berminggu-minggu aku sisihkan uang jajan dan akhirnya menjadi kenyataan. Iya benar sekali mengawal Persijap di laga tandang. Keinginan yang aku pendam dalam-dalam sebagai bukti rasa cinta. Mungkin suatu saat nanti aku perlu berkunjung ke pulau seberang untuk membuktikan lebih besar lagi perasaanku.
Aku tanya pada teman karibku dengan penuh harapan menemaniku "Jadi ikut tidak?" Lalu jawabnya dengan murung, "Tidak dikasih izin bapakku." Mungkin berbeda dengan bapakku yang memiliki hasrat untuk mengikuti di laga tandang waktu muda yang kini mengalir padaku. Mungkin juga aku salah satu penggemar yang tidak pernah dipersulit menghadiri suatu pertandingan. Bukan karena biaya tapi karena kekhawatiran orang-orang rumah tentang stigma negatif polemik sepak bola.
Hari besar itu telah tiba dan saatnya aku bergegas menuju titik kumpul. Orang-orang sudah bergumul tentang obrolan khas kawan-kawan yang telah lama tidak berkumpul. Berbincang santai suka ria melepas penat enam hari atas kesibukan dunia. Kulihat sekelilingku penuh canda tawa, riang, dan gembira. Sungguh momen-momen kejujuran yang hanya bisa aku temukan ketika dia berlaga.
Pukul sepuluh kira-kira, dengan truk kita terbawa dan harapan membawa poin dari tuan rumah. Spanduk dan bendera dipasang di kanan dan kiri badan truk. Aku yang waktu itu sambil mengamati hal-hal konyol apa saja yang akan terlihat mata. Bernyanyi, bersorak, dan membual memenuhi sepanjang jalan. Sengatan surya tak mengeringkan semangat dan jiwa kita walau terkadang sedikit mendung enak juga. Maklum kita berada di kendaraan terbuka. Lewati kota ke kota, jalan berlubang tak terpelihara, lalu-lalang aktivitas warga. Satu di antaranya bertanya sambil menatap salah satu di antara kita, "Persijap lawan mana?" Sepertinya orang ini ketinggalan atau memang tidak mengikuti berita perkembangan Persijap selama ini. Mungkin baginya atau bahkan kebanyakan orang, tingkat antusiasme tergantung pada berada di kasta mana klub itu berlaga. Kok bisa ya? Bukannya Persijap itu bagian dari representasi kota yang pantas didukung di mana dan ke mana saja, pikirku waktu itu.
Sinar surya semakin menyengat, terasa kepala ingin retak. Mungkin juga aku yang tidak mengenakan topi atau apa saja yang sekiranya bisa melindungi kepala. Bertandang dengan kendaraan terbuka lebih terasa keseruan dan perjuangannya. Tak terasa Stadion Krida sudah terlihat warna jingganya. Ternyata penggemar sepak bola jepara yang lain sudah tiba lebih awal. Si kemudi mencari area untuk mengistirahatkan truk dan dirinya. Kita turun mengambil peralatan, melepas ikat tali bendera, dan bergegas menuju ke arah pintu pojok barat selatan karena sebentar lagi akan ditiup peluit pertama. Kupegang erat tiketku, sesak memenuhi setiap ruang pembatas besi pintu stadion. Portir kewalahan, mungkin jika ada yang menyusup tidak ketahuan. Tidak sabarnya aku waktu itu puluhan kaki aku lewati, aku beranjak naik ke anak tribun teratas.
Kawan-kawan memasang drum, bendera dan spanduk komunitas di pagar besi berkarat. Perlahan tapi pasti Capo memanjat pagar tua hingga ke atas. Berdiri tegap memegangi megafon serta melambaikan tangan memberikan arahan. Bernyanyi hingga serak suara, berdiri walau lapar dan dahaga. Menit ke berapa aku lupa Persijap kemasukan gol dan menit ke berapa pula Persijap mencetak gol. Memang aku tidak memperhatikan jalannya pertandingan. Keasyikan bernyanyi mengikuti arahan. Skor satu sama bertahan sampai akhir laga. Walaupun di luar harapan tapi setidaknya membawa poin ke Jepara. Berkumpul, berjalan, dan bernyanyi lagi menuju truk. Sepertinya keterbatasan tenaga bukan menjadi alasan untuk meredakan semangat. Kita kembali menuju Kota Ukir tercinta. Sekali lagi aku beruntung menjadi bagian dari orang-orang di belakan gawang.
Komentar
Posting Komentar