Langsung ke konten utama

Toleransi dalam sepak bola

     Saya sendiri agak bingung dengan keimanan para penggemar bola masa kini. Bagaimana bisa mereka mencintai dua atau lebih tim sepakbola. Jujur saja saya tidak bisa. Saya hanya bisa fokus kepada yang satu. Saya menerima dan menjalani apa yang Tuhan pilihkan. Kalau kata Friedrich Nietzsche ini adalah amor fati. Yah walaupun sulit tapi di situlah letak keteguhan seseorang. Jika diibaratkan binatang, bagaimana mungkin seekor ayam ingin menjadi kambing atau seekor kambing ingin menjadi ayam. Masak ada ayam yang mengembik atau kambing yang berkokok? Itukan di luar kemampuannya, atau jangan-jangan mereka terjebak dalam arus liberalisme, kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa ada filter sebagai penyeleksi sesuatu yang harus dan tidak perlu dilakukan, atau mereka tidak memahami toleransi? 

       Toleransi itu seperti ini, saya mendukung tim kebanggaan saya tanpa memintamu untuk mendukung tim kebanggaan saya dan kamu mendukung tim kebanggaanmu tanpa meminta saya untuk mendukung tim kebanggaanmu. Saya tidak perlu mendatangi stadionmu apalagi sampai berpakaian layaknya kamu mendukung kebanggaanmu dan bernyanyi sampai lupa saya ini siapa, agar saya mendapat label sebagai orang yang berwawasan. Biarkan saya dengan kebanggaan saya dan biarkan kamu dengan kebanggaanmu dan saya tidak perlu mencampuradukkan kebanggaan saya dengan kebanggaanmu menjadi satu. Saya tidak perlu menghina dan memaki klub kebanggaanmu, begitu juga sebaliknya. Cukup saja saya membiarkanmu mendukung tim kebangganmu dengan caramu sendiri dan saya dengan cara saya sendiri.

        Mungkin bukan di situ persoalannya, tapi lebih kepada kurang bangga dan cenderung tidak percaya diri dengan apa yang mereka miliki. Maka dari itu orang-orang tersebut mencari tim kebanggaan yang sekiranya lebih baik, lebih keren, lebih terkenal, dan lebih berprestasi. Maaf saja ini baru asumsi saya. Jangan serius ditanggapinya, karena ini menyangkut keimanan seseorang. Saya hanya penasaran dengan cara mereka berpikir. Satu adagium yang saya pegang sampai sekarang, "Bagimu kebanggaanmu; bagiku kebanggaanku."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...