"Karena kekecewaannya pada pemeluk agama, maka dia bertanya-tanya jika Tuhan maha segala kebaikan mengapa Dia membiarkan kehancuran, kekacauan, dan kejahatan. Mengapa Tuhan tidak menghilangkan saja semuanya itu dengan kekuasaan-Nya. Maka dari itu para ateis menyimpulkan bahwa Tuhan itu tidak ada." Sambung Rumi masih bersandar di punggung kursi. "Sekali lagi, Yah. Jangan dikira karena keterbatasan otak kita lalu menyimpulkan bahwa sesuatu yang kita tidak tahu itu pasti tidak ada."
"Kenapa manusia dibatasi, Rum?"
"Kalau manusia tidak dibatasi dan tahu semua, buat apa Tuhan jadi Tuhan? Sedangkan manusia sudah tahu semuanya tanpa terkecuali. Contoh kecilnya seperti ini, Yah, jika akal kita tidak dibatasi. Bayangkan kamu memiliki sahabat yang sudah lama kamu kenal dan percaya, ke mana-mana dengan dia, apa-apa cerita dengan dia, lalu setelah kamu ceritakan semuanya kepadanya tanpa sedikit pun yang tertinggal termasuk aib-aib, dia mengkhianatimu entah dengan caranya bagaimana. Betapa kecewa dan sakitnya hatimu? Seandainya kamu tahu sedari awal, maka kamu tidak akan memercayainya bahkan kamu bisa membenci sebenci-bencinya. Karena keterbatasanmu dan ketidaktahuanmu itu yang menyebabkanmu menjadi orang baik, tetap menjalin hubungan, berprasangka baik padanya, bersyukurlah kamu," Ketus Rumi.
Wiyah mendongakkan pandangannya kepada Rumi seakan-akan baru mengerti dan berpikir sampai sejauh ini tentang konsep kebijaksanaan Tuhan.
"Yah, orang ateis itu sebenarnya baru setengah muslim."
"Bagaimana bisa?" Gadis berparas ayu itu tambah tidak mengerti dengan perkataan Rumi.
"Karena dia baru meyakini dan berkata tiada ada Tuhan, seharusnya dia melanjutkan dengan selain Allah. Setelah dia melanjutkan dengan selain Allah maka sahlah dia menjadi seorang muslim."
Rumi dan Wiyah saling mengangkat gelas dan meminum air mineral dalam satu tegukan.
"Rum, apakah orang ateis itu bisa hidup tanpa Tuhan?"
"Jangankan orang yang tidak percaya Tuhan, orang yang percaya Tuhan tapi Tuhan yang lain, bukan Tuhan yang kita sembah saja tidak bisa. Maksudku gini, orang yang menyembah selain Allah dan cara penyembahannya berbeda dengan yang kita lakukan pun tidak mungkin bisa hidup tanpa Tuhan." Rumi menata perkataannya. "Yah, sebutkan unsur kehidupan ini yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan?"
Wiyah mengedipkan kelopak matanya beberapa kali dan sesekali melihat ke atas, "Telepon genggam, Rum."
"Telepon genggam itu sangat berhubungan sekali dengan Tuhan."
"Maksudnya?" Wiyah mengerutkan dahinya.
"Telepon genggam terbuat dari alumunium, plastik, besi, kaca, tembaga, karet, dan masih banyak lagi. Dari beberapa bahan tersebut mana yang bukan ciptaan Tuhan?"
"Kalo dipikir-pikir memang kesemuanya itu berasal dari alam dan diciptakan oleh Tuhan, tapi kan itu dibuat oleh manusia bukan Tuhan?"
"Yah, kamu ini gimana, toh. Siapa yang menciptakan manusia?"
"Sebagai umat beragama, jelas Tuhan lah."
"Lalu kesimpulannya?"
"Telepon genggam dari Tuhan dan tidak ada yang tidak berhubungan dengan Tuhan."
"Benar sekali, dengan cara berpikir seperti itu kamu akan merasa bahwa manusia itu tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak punya apa-apa. Kamu akan lebih dekat dengan Tuhan, karena kamu akan sangat bergantung pada-Nya." Rumi menarik napas lalu mengembuskannya perlahan-lahan, "Itulah yang dinamakan Tauhid, kamu dan Tuhan menjadi satu. Itu bukan berarti kamu lalu semena-mena kepada makhluk lain karena telah menyatu dengan Tuhan. Karena jika terjadi hancurlah peradaban manusia, karena semua manusia akan merasa dirinya telah menyatu dengan Tuhan. Yang disebut menyatu dengan Tuhan itu kamu akan merasa aman hidupmu karena dijaga oleh Tuhan, kamu tidak akan memilih atau melakukan sesuatu yang dilarang oleh Tuhan karena kamu merasa diawasi. Segala sesuatu yang kamu lakukan melibatkan Tuhan, secara alamiah kamu akan memilih sesuatu yang baik karena hati dan pikiranmu tersambung langsung dengan Tuhan. Jadi kalau dilihat dari zaman yang tidak keruan rusaknya ini, karena manusia mulai menjauhkan Tuhan dari kehidupan.
Dipikirnya manusia itu sudah segalanya, sudah merasa paling hebat, cerdas, dan kuat. Dikiranya manusia itu sudah mandiri, tidak perlu lagi bantuan Tuhan. Tuhan memang sengaja dijauhkan, tetapi sekalinya dapat musibah atau bencana, buru-buru langsung minta pertolongan. Entah itu yang minta kesembuhan, pengembalian modal, harta yang sebanyak-banyaknya, dan masih banyak keinginan manusia yang tidak aku pikirkan. Untung saja Tuhan Mahapengasih, Mahapenyayang, Mahapengampun. Kalau Tuhannya itu aku, sudah aku lenyapkan dari dulu-dulu. Orang seperti itu tidak pantas hidup, tidak pantas ada di alam semesta. Tuhan suruh merawat malah dirusak. Tuhan suruh jangan lakukan itu malah dilakukan. Apa sih susahnya menuruti perkataan Tuhan." Rumi meneguk sisa terakhir air dalam gelasnya lalu berkata, "Yah, jangan dikira aku bicara seperti ini lantas kamu menganggap aku sebagai sebaik-baiknya manusia, sudah banyak pahala dan tidak punya dosa, dan sudah dijamin masuk surga. Justru aku bicara seperti ini karena aku banyak kurangnya, tetapi yang kurang ini bisa mengingatkanmu bahwa kehidupan ini tidaklah seperti kebanyakan orang lakukan."
Komentar
Posting Komentar