"Yah, bisakah kita bertemu sekarang?"
"Bisa, Rum."
Tidak seperti biasa, kali ini Wiyah membalas pesan dari Rumi begitu cepat. Mungkin Wiyah benar-benar tertarik dengan prinsip hidup Rumi. Mungkin bulan kemarin Wiyah tidak memiliki waktu luang untuk menemui Rumi, karena tugas akhir banyak memakan waktu untuk menyelesaikannya. Maklum saja Rumi bukanlah satu-satunya teman yang dimiliki Wiyah. Kalaupun Wiyah memiliki waktu luang, maka dia perlu membagi rata untuk orang-orang di sekelilingnya.
"Tapi kali ini aku saja yang ke rumahmu, Rum, bolehkah?"
"Dengan terbuka lebar pintu rumahku untukmu, Yah."
Sekitar lima belas menit, Wiyah tiba di teras rumahnya Rumi. Tanpa perlu Wiyah mengucap permisi, Rumi sudah menanti di kursi teras mempersilakan Wiyah masuk ke ruang tamu. Rumi menyuruhnya memarkirkan di bawah pohon beringin di samping rumah Rumi. Mereka berjalan menuju pintu ruang tamu. Terbelalak kedua bola mata Wiyah melihat empat rak yang dipenuhi buku-buku yang sebelumnya Wiyah tidak pernah mengira. Ruang tamu Rumi seluas 8 × 4 × 4 meter, sisi barat terdiri kursi dan meja tamu yang terbuat dari kayu jati kampung yang usianya lebih tua dari kakak pertama Rumi, dan sisi timur berdiri gagah empat rak buku masing-masing dengan panjang empat meter, lebar lima puluh sentimeter, setinggi tiga meter, dengan delapan tingkat. Tiga rak membujur timur-barat, satu rak membujur utara-selatan menempel dinding timur, sehingga hanya menyisakan jalan sempit di sela-sela rak untuk berjalan. Tersisa setinggi satu meter area kosong di atas rak buku yang dipasangi lukisan lawas yang Rumi sendiri tidak tahu siapa nama dari lukisan-lukisan tersebut. Ada tiga puluh dua lukisan dan tidak satu pun di antaranya adalah anggota keluarga Rumi.
"Kenapa kamu tidak tahu siapa di antara mereka, Rum?"
"Bukan saya yang memilih dan meletakkan lukisan tersebut. Itu sudah ada sejak aku balita. Bapak sendiri yang melakukannya. Sampai sekarang aku tidak tahu apa maksudnya dan aku sendiri tidak berani memindahkannya. Walaupun ada beberapa lukisan yang membuatku takut melihatnya. Maklumlah lukisan tua, tapi yang kutahu bapak membelinya dari pasar loak. Menurut bapak, karya seni itu dinilai tinggi karena usianya bukan rupanya. Semakin tua semakin tinggi nilainya. Memang itu semua dibeli bapak dengan harga murah, tapi kepuasan tidak terletak pada harganya, tapi seberapa berkesan barang tersebut bagi pemiliknya.
Rumi dan Wiyah masih berdiri melihat-lihat lukisan-lukisan tua. Sampai akhirnya Wiyah meminta untuk menyusuri setiap jalan sempit di antara rak-rak buku.
"Berapa total buku di sini, Rum?"
"Sekitar dua ribu buku, Yah. Ini semua koleksi bapak dan akan terus aku tambah."
Wiyah terheran-heran seolah tidak percaya, bagaimana mungkin di zaman yang secanggih ini masih ada orang yang mengoleksi lukisan tua dan buku-buku.
"Yah, jangan kagum dulu, di ruang bagian belakang dan di atas masih ada lagi."
"Apa maksud dari semua ini, Rum?"
"Tidak tahu, Yah. Semua berjalan begitu saja."
Mereka berdua melewati satu per satu baris-baris buku dan dari semuanya, tidak ada yang membuat Wiyah mengenalnya. Dia terkejut dengan buku berwarna putih setebal 316 halaman di tingkat empat paling pojok rak buku paling utara karya Abdurrahman Wahid yang berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela. Wiyah mengambil dan membolak-balikkan buku itu.
"Apakah kamu membaca buku ini?"
"Pastinya."
"Tapi dilihat dari arah pembicaraanmu, kamu mencirikan orang yang membela Tuhan."
"Tidak, Yah. Sudah kuduga kamu akan berkata seperti itu."
"Kenapa?
"Karena Tuhan Maha Segalanya, dan siapalah aku dan bisa apa aku sampai mampu membela Tuhan."
"Lalu siapa yang perlu dibela?"
"Islam, karena islam adalah makhluk-Nya dan aku mengikuti jejak para utusan-Nya. Walaupun jangan hanya karena kita benar lalu dengan mudahnya menghakimi umat agama lain."
"Itu kan nabi, makhluk pilihan, bukan seperti kita yang hanya makhluk biasa."
"Justru tujuan diciptakannya para nabi agar umatnya mengikuti cara hidupnya."
"Memangnya apa bedanya Tuhan dengan agama?"
"Jelas berbeda, Yah. Tuhan itu satu-satunya dan tidak ada selain Dia. Tuhan itu yang menciptakan, yang mengasihi, yang menyayangi, yang mencintai, yang menjaga, dan segala sifatnya yang tak terhingga. Sifat Tuhan lebih dari yang 99 itu karena buat apa angka 99 bagi Tuhan dan bagaimana cara membatasi Tuhan. Tuhan kok dibatasi, maka dari itu kita perlu menyembah-Nya, dan kalau pun kita tidak menyembah-Nya itu tidak mengurangi sedikit pun keagungan Tuhan, dan kalaupun kita menyembah-Nya, itu tidak menambah sedikit pun keagungan-Nya. Kalaupun kita tidak mau menyembah-Nya, bukan Tuhan yang rugi tapi kita sendiri yang merugi. Itu seperti ketika kita disuruh sekolah oleh orang tua kita. Bukan karena kebutuhan orang tua kita, tapi kita sendiri yang akan butuh dari sekolah tersebut."
"Lalu kenapa kamu tidak mau sekolah, Rum?"
"Beda konteksnya, Yah."
"Lalu apa agama itu?"
"Sedangkan agama itu cara kita menuju Tuhan. Ada hal-hal yang kita tahu di dunia ini dan ada hal-hal yang kita tidak tahu. Yang tidak tahu itu Tuhan memberi tahu kita melalui agama. Maka dari itu para ormas berpakaian putih menyebut dirinya sebagai pembela islam bukan pembela Tuhan."
Wiyah termangu-mangu mendengarkan penjelasan Rumi. Dia baru tahu perbedaan antara Tuhan dan agama.
Komentar
Posting Komentar