Langsung ke konten utama

Don't hate what you don't understand!

       Akan saya tutup telinga saya jika engkau melegitimasi apa yang ada di dalam pikiranmu dan apa yang engkau katakan sebagai kebenaran mutlak. Sebab kecuali Tuhan, pemegang mutlak kebenaran, adalah berdasarkan sudut pandang dari mana engkau lihat dan engkau dengar. Aku tidak peduli siapa engkau entah itu anak sekolah, dosen, ulama, atau pernah sekolah di mana, lulusan perguruan tinggi mana, bergelar apa, berkedudukan apa, bekerja di mana dan pernah melakukan apa. Selama engkau manusia, engkau tetaplah makhluk yang beropini, termasuk saya juga. Walaupun ada pengecualian yaitu para utusan tuhan. Dan tidak usahlah engkau melarang orang lain untuk beropini sebab itu adalah kebebasan dari tuhan agar makhluknya berpikir. Bukankah syarat utama beragama adalah berpikir?

       Dan anehnya kenapa manusia saling melarang untuk beropini, kalaupun boleh harus menunggu sampai mendapat gelar tertentu. Bukannya ilmu pengetahuan yang mereka dapat juga berasal dari opini orang-orang sebelumnya? Misalnya saja teori gravitasi, yang berangkat dari pendapatnya Isaac Newton tentang jatuhnya buah apel dari pohon lalu dia beranggapan bahwa bumi ini memiliki gaya tarik (gravitasi) lalu diteliti dan dikembangkan menjadi rumus-rumus yang diajarkan di sekolah-sekolah. Lalu diklaim sebagai kebenaran walaupun saya meragukan teori tersebut.

        Atau tentang pendirian negara ini. Sebagian besar angkatan '45 adalah para jurnalis, wartawan, penulis, dan pemikir. Orang-orang seperti Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, Agus Salim, Moh. Yamin, Tjokroaminoto, Aidit, Kartosoewirjo, Musso, Wachid Hasyim adalah para intelektual yang pandai beropini. Masing-masing dari mereka memiliki pendapat dan diterbitkan dalam media massanya sendiri. Soekarno memiliki koran Persatoean Indonesia, Fikiran Ra’jat, majalah Soeloeh Moeda Indonesia. Hatta memiliki majalah Daulat Ra’jat. Bahkan Ki Hajar memiliki 7 surat kabar, satu di antaranya Kaoem Moeda dan masih banyak lagi para revolusioner yang memiliki media massa dan tentunya bermuatan opini, ide, dan gagasan yang bertujuan untuk melawan penjajahan. Bukan macam koran yang hanya meliput kejadian 5W+1H yang memberitakan kabar buruk.

        Beropini adalah pekerjaan pikiran, karena hanya seseorang yang memiliki keahlian menganalisa dan kepekaan rasa yang mampu melahirkan ide-ide inovatif dan visioner. Jadi kalo saya diminta mengerjakan sesuatu tetapi wajib menggunakan teori yang sebelumnya ada dan sudah banyak dipakai, maka saya seperti mandi dari air bekas mandinya orang-orang sebelum saya. Bukannya bersih malah tambah kotor. Seperti itulah kira-kira gambaran betapa pentingnya kebebasan beropini.

         Apa yang ditakuti dari beropini? Perbedaan pendapat, percekcokan, perdebatan, atau kebencian? Memangnya orang-orang revolusioner tadi tidak mengalami hal-hal tersebut? Pastinya iya. Silakan cari perselisihan antara Sukarno dengan Hatta. Pada akhirnya tidak ada masalah serius di penghujung usia mereka. Asal tidak sampai menghilangkan nyawa saja. sebab manusia tidak punya hak sedikit pun untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

         Mungkin ada yang berpikiran seperti ini, "Semua umat manusia akan masuk surga." Ya itu boleh-boleh saja sebab surga dan neraka adalah milik-Nya. Terserah Tuhan mau memasukkan semua manusia toh juga itu hak prerogratif Tuhan. Menurut saya pendapat seperti itu masuk akal juga dan saya pun memilih yang sekiranya baik untuk semua orang. Karena kita ini berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan. Masak Tuhan menyiksa dirinya sendiri? 

         Perbedaan dalam beropini itu biasa saja, hal yang lumrah. Sebab untuk saat ini kita tidak mampu menjangkau kebenaran yang sejati. Kita hanya menemukan dan menerima cipratan-cipratan kebenaran dari Tuhan dan itu sedikit sekali. Seperti di judul bukunya Anand Krishna Ini adalah kebenaran dan itu adalah kebenaran.

        Mungkin jika engkau tetap bersikukuh terhadap kebenaran yang engkau anggap benar itu tidak apa-apa dan itu hak anda. Yang jadi masalah adalah jika engkau memaksakan kebenaranmu untuk orang lain. Soal salah dan benar itu relatif, tergantung dari sudut pandang mana kita melihat. Bisa saja kebenaran anda berlaku untuk masa sekarang dan kebenaran menurut saya akan terungkap di masa yang akan datang, atau juga sebaliknya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...