"Aku ini bagaimana ya kok tidak jelas gini."
"Tidak jelas bagaimana Rum?" Tanya Wiyah terduduk sambil memperhatikan Rumi yang berdiri di depannya.
"Tidak jelas saja, aku juga tidak tahu penyebab ketidakjelasannya?" Dengan tatapan kosong Rumi menjawab
"Nah, aku lihat kamu baik-baik saja."
"Iya, itu kalo kamu lihat dari tampilanku saja. Padahal di dalam pikiranku ini kacau semua." Celetuk Rumi yang duduk sebangku di sebelah Wiyah.
"Ah, yang benar saja. Sekacau apa sih?
"Mungkin ini lho, kira-kira, berdasarkan yang aku rasakan. Aku merasa aku ini gagal menjadi manusia. Lihat teman-temanku: kehidupannya mapan; punya jenjang karir; masa depan cerah; uang banyak. Sedangkan aku?" Dengan raut muka kebingungan mengarah pada Wiyah yang tidak tahu apa-apa. "Tidak jadi apa-apa 'kan?
Wiyah lamat-lamat menatap penuh perhatian mendengarkan kegelisahan Rumi yang tidak keruan. "Itu kan kamu sendiri yang memilih cara hidup seperti itu. Kamu dikuliahkan lagi tapi tidak mau dan Kamu dulu juga pernah ditawari kerja di tempat yang layak dengan gaji sekian 'kan? Kalo boleh tahu kenapa sih kamu bersikap seperti itu; tidak capek 'kah?"
Rumi merubah arah duduknya menyamping dan mencoba menjelaskan prinsip hidupnya satu per satu. "Jadi seperti ini lho Yah, sebenarnya aku malu kalo mau menjelaskan tentang prinsip hidup. Aku khawatir kalau kamu tidak siap menerima apa yang akan aku katakan. Aku takut jika yang kukatakan padamu itu malah membuatmu tidak nyaman dan menjauh dariku. Yah, perlu kamu ketahui kamu itu satu-satunya teman perempuan yang aku kenal. Kalau kamu menjauh dariku nanti bagaimana denganku, masak tidak punya satupun teman perempuan? Kan tidak berwarna hidupku.
"Iya-iya deh aku akan menerima dan tidak akan menjauh darimu." Kata Wiyah yang mencoba meyakinkan dengan tawa kecil senyum lebar kepada Rumi tentang hubungan pertemanan mereka. "Silakan katakan yang sebenarnya tentang prinsip hidupmu Rum, jadi penasaran aku."
"Yah kita kan jarang bertemu, aku sibuk dengan kehidupanmu dan kamu juga sibuk dengan kuliahmu. Mungkin aku hanya bisa mengungkap tentang kuliah dan kerja bukan keseluruhan prinsip hidupku." Rumi yang pelan-pelan mengawali dengan prelude agar tidak mempengaruhi masa depan Wiyah yang apalagi dia berada di ujung semester akhir.
Wiyah yang mengerutkan dahi seakan-akan tidak puas dengan perkataan Rumi. "Kenapa tidak keseluruhan Rum?"
"Yah perlu kita akui bahwa kita jarang bertemu dan dengan menjelasan sedikit demi sedikit, aku harap kamu dan aku bisa sering bertemu."
"Oke kalau gitu sepakat aku Rum." Anggukan dan wajah datar Wiyah lalu mengulurkan jari kelingking tangannya ke arah Rumi. "Demi memenuhi rasa penasaranku tentang kemisteriusan kehidupanmu aku akan selalu menerima permintaanmu untuk mengobrol."
"Yah, seumur hidupku, aku tidak mau apa yang aku lakukan itu membuat Tuhan marah." Rumi memalingkan pandangannya ke arah Wiyah.
"Memangnya sekolah dan kerja itu membuat Tuhan marah ya?" Tanya Wiyah dengan lugunya.
"Bukan seperti itu jalan berpikirnya." Rumi meluruskan perkataannya, "Tidak ada yang salah dari sekolah dan kerja, tetapi saya khawatir ilmu pengetahuan yang saya dapatkan dari sekolah dan pekerjaan yang saya lakukan justru merusak alam semesta."
"Sebentar Rum, aku buka dan tata dulu pikiranku. Sepertinya penjelasanmu ini berat." Pinta Wiyah sambil mengedipkan kedua kelopak matanya.
Rumi melanjutkan penjelasannya, "Memang benar jika aku kuliah dan mendapat pekerjaan di tempat itu akan mendapat nama di masyarakat dengan gaji beserta bonus-bonusnya. Uangku akan banyak Yah, tapi buat apa jika punya banyak uang tapi tidak diperlakukan layaknya seorang manusia. Berangkat Pagi pulang malam, badan capek, lalu tertidur sampai pagi lagi, berangkat bekerja dan pulang malam lagi, begitu juga seterusnya. Bagaimana jika saya menikah nanti, bagaimana hubunganku dengan isteri dan anak-anakku nanti yang jarang berinteraksi yang tak sempat aku berikan kasih dan sayangku kepada mereka? Tidak kasihankah mereka? Hanya menerima uangku tapi tidak dengan cintaku. Aku tidak mau hidup seperti itu Yah. Aku tidak mau hidup hanya semata-mata mencari uang. Aku tidak mau itu terjadi padaku kelak. Itu bukan berarti uang itu tidak penting dan aku tidak suka uang, bukan begitu Yah. Aku sangat suka uang, aku butuh uang, tetapi tidak segila itu aku mengejarnya sampai mengesampingkan tugas utamaku menjadi manusia. Aku merasa sangat berdosa bila itu benar-benar terjadi."
Wiyah diam termenung, tidak menyangka Rumi akan mengatakan hal semacam itu. Dalam hatinya bertanya-tanya apa yang ada di isi kepala seorang pemuda yang telah dia kenal sejak usia 8 tahun. Walaupun keduanya jarang sekali bercengkerama. Wiyah mulai beradaptasi dengan pola pikir teman laki-lakinya itu.
"Rum, aku terkejut mendengarkan perkataanmu tadi. Aku tidak menyangka Rum, kamu akan berpikir sejauh itu."
"Yah, penjelasanku belum selesai masih ada yang harus aku katakan padamu, tapi ini sudah larut malam. tidak pantas seorang gadis sepertimu bersama orang yang tidak jelas hidupnya. Aku takut jika kamu pulang kemalaman dan orang tuamu melarang pertemuan kita lagi." Rumi meminta Wiyah untuk segera pulang.
"Baiklah Rum. Tapi aku masih penasaran dengan kelanjutan penjelasanmu. Aku tunggu pesan permintaanmu untuk bertemu.
"Iya Yah, tapi jangan sampai aku mengganggu kuliahmu. Aku tidak mau menjadi pengganggu dalam kehidupanmu." Hela napas Rumi dengan mata penuh harap membiarkan Wiyah pulang.
Komentar
Posting Komentar