Langsung ke konten utama

Dialog antara dua "Aku" #1

     "Aku ini bagaimana ya kok tidak jelas gini."

    "Tidak jelas bagaimana Rum?" Tanya Wiyah terduduk sambil memperhatikan Rumi yang berdiri di depannya.

     "Tidak jelas saja, aku juga tidak tahu penyebab ketidakjelasannya?" Dengan tatapan kosong Rumi menjawab

     "Nah, aku lihat kamu baik-baik saja."

    "Iya, itu kalo kamu lihat dari tampilanku saja. Padahal di dalam pikiranku ini kacau semua." Celetuk Rumi yang duduk sebangku di sebelah Wiyah.

    "Ah, yang benar saja. Sekacau apa sih?

  "Mungkin ini lho, kira-kira, berdasarkan yang aku rasakan. Aku merasa aku ini gagal menjadi manusia. Lihat teman-temanku: kehidupannya mapan; punya jenjang karir; masa depan cerah; uang banyak. Sedangkan aku?" Dengan raut muka kebingungan mengarah pada Wiyah yang tidak tahu apa-apa. "Tidak jadi apa-apa 'kan?

    Wiyah lamat-lamat menatap penuh perhatian mendengarkan kegelisahan Rumi yang tidak keruan. "Itu kan kamu sendiri yang memilih cara hidup seperti itu. Kamu dikuliahkan lagi tapi tidak mau dan Kamu dulu juga pernah ditawari kerja di tempat yang layak dengan gaji sekian 'kan? Kalo boleh tahu kenapa sih kamu bersikap seperti itu; tidak capek 'kah?"

    Rumi merubah arah duduknya menyamping dan mencoba menjelaskan prinsip hidupnya satu per satu. "Jadi seperti ini lho Yah, sebenarnya aku malu kalo mau menjelaskan tentang prinsip hidup. Aku khawatir kalau kamu tidak siap menerima apa yang akan aku katakan. Aku takut jika yang kukatakan padamu itu malah membuatmu tidak nyaman dan menjauh dariku. Yah, perlu kamu ketahui kamu itu satu-satunya teman perempuan yang aku kenal. Kalau kamu menjauh dariku nanti bagaimana denganku, masak tidak punya satupun teman perempuan? Kan tidak berwarna hidupku.

   "Iya-iya deh aku akan menerima dan tidak akan menjauh darimu." Kata Wiyah yang mencoba meyakinkan dengan tawa kecil senyum lebar kepada Rumi tentang hubungan pertemanan mereka. "Silakan katakan yang sebenarnya tentang prinsip hidupmu Rum, jadi penasaran aku."

    "Yah kita kan jarang bertemu, aku sibuk dengan kehidupanmu dan kamu juga sibuk dengan kuliahmu. Mungkin aku hanya bisa mengungkap tentang kuliah dan kerja bukan keseluruhan prinsip hidupku." Rumi yang pelan-pelan mengawali dengan prelude agar tidak mempengaruhi masa depan Wiyah yang apalagi dia berada di ujung semester akhir.

    Wiyah yang mengerutkan dahi seakan-akan tidak puas dengan perkataan Rumi. "Kenapa tidak keseluruhan Rum?"

     "Yah perlu kita akui bahwa kita jarang bertemu dan dengan  menjelasan sedikit demi sedikit, aku harap kamu dan aku bisa sering bertemu."

   "Oke kalau gitu sepakat aku Rum." Anggukan dan wajah datar Wiyah lalu mengulurkan jari kelingking tangannya ke arah Rumi. "Demi memenuhi rasa penasaranku tentang kemisteriusan kehidupanmu aku akan selalu menerima permintaanmu untuk mengobrol."

    "Yah, seumur hidupku, aku tidak mau apa yang aku lakukan itu membuat Tuhan marah." Rumi memalingkan pandangannya ke arah Wiyah.

     "Memangnya sekolah dan kerja itu membuat Tuhan marah ya?" Tanya Wiyah dengan lugunya.

     "Bukan seperti itu jalan berpikirnya." Rumi meluruskan perkataannya, "Tidak ada yang salah dari sekolah dan kerja, tetapi saya khawatir ilmu pengetahuan yang saya dapatkan dari sekolah dan pekerjaan yang saya lakukan justru merusak alam semesta."

     "Sebentar Rum, aku buka dan tata dulu pikiranku. Sepertinya penjelasanmu ini berat." Pinta Wiyah sambil mengedipkan kedua kelopak matanya.

      Rumi melanjutkan penjelasannya, "Memang benar jika aku kuliah dan mendapat pekerjaan di tempat itu akan mendapat nama di masyarakat dengan gaji beserta bonus-bonusnya. Uangku akan banyak Yah, tapi buat apa jika punya banyak uang tapi tidak diperlakukan layaknya seorang manusia. Berangkat Pagi pulang malam, badan capek, lalu tertidur sampai pagi lagi, berangkat bekerja dan pulang malam lagi, begitu juga seterusnya. Bagaimana jika saya menikah nanti, bagaimana hubunganku dengan isteri dan anak-anakku nanti yang jarang berinteraksi yang tak sempat aku berikan kasih dan sayangku kepada mereka? Tidak kasihankah mereka? Hanya menerima uangku tapi tidak dengan cintaku. Aku tidak mau hidup seperti itu Yah. Aku tidak mau hidup hanya semata-mata mencari uang. Aku tidak mau itu terjadi padaku kelak. Itu bukan berarti uang itu tidak penting dan aku tidak suka uang, bukan begitu Yah. Aku sangat suka uang, aku butuh uang, tetapi tidak segila itu aku mengejarnya sampai mengesampingkan tugas utamaku menjadi manusia. Aku merasa sangat berdosa bila itu benar-benar terjadi."

      Wiyah diam termenung, tidak menyangka Rumi akan mengatakan hal semacam itu. Dalam hatinya bertanya-tanya apa yang ada di isi kepala seorang pemuda yang telah dia kenal sejak usia 8 tahun. Walaupun keduanya jarang sekali bercengkerama. Wiyah mulai beradaptasi dengan pola pikir teman laki-lakinya itu.

    "Rum, aku terkejut mendengarkan perkataanmu tadi. Aku tidak menyangka Rum, kamu akan berpikir sejauh itu."

   "Yah, penjelasanku belum selesai masih ada yang harus aku katakan padamu, tapi ini sudah larut malam. tidak pantas seorang gadis sepertimu bersama orang yang tidak jelas hidupnya. Aku takut jika kamu pulang kemalaman dan orang tuamu melarang pertemuan kita lagi." Rumi meminta Wiyah untuk segera pulang.

   "Baiklah Rum. Tapi aku masih penasaran dengan kelanjutan penjelasanmu. Aku tunggu pesan permintaanmu untuk bertemu.

     "Iya Yah, tapi jangan sampai aku mengganggu kuliahmu. Aku tidak mau menjadi pengganggu dalam kehidupanmu." Hela napas Rumi dengan mata penuh harap membiarkan Wiyah pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...