Langsung ke konten utama

Dialog antara dua "Aku" #3

    "Rum, apa yang kamu katakan itu ada benarnya." Sambil memetik daun yang telah menguning dan menengok ke arah pintu, memastikan tidak ada orang selain mereka. Dengan pelan-pelan Wiyah berkata, "Aku juga merasa hal yang sama. Aku kuliah pun bukan karena permintaanku. Aku hanya menuruti permintaan ibuku. Sejujurnya aku lebih senang langsung bekerja saja, dan jurusan yang dipilih pun tidak sesuai dengan minatku. Aku suka bertani, bertanam, beternak. Aku malas bertemu dengan angka-angka dan tuntutan tugas yang tidak kira-kira, tapi ketika ibu sudah meminta hal seperti itu, apalah dayaku menolaknya. Tidak berani sedikit pun membantahnya dan tidak tega bila ibu menangis atas penolakanku. Maka dari itu aku turuti saja, siapa tahu Tuhan mempermudah segala urusanku."

    "Yah, mulia sekali dirimu. Bahkan aku pun tidak sanggup melakukan hal semacam itu. Aku hanya bisa melakukan sesuatu apa yang aku mau dan apa yang aku suka. Tidak peduli siapa yang menyuruhku, akan aku tolak semuanya." Agak gemetar Rumi mengucapkan kepada Wiyah. "Aku jadi ingat waktu di sekolah ketika mengerjakan angka dan kurva. Betapa sulitnya soal ini, hampir setiap hari aku bertemu dengannya. Hal yang paling mengerikan adalah ketika ujian. Sempat aku berpikir bahwa seandainya aku diberi hidup tiga kali lagi oleh Tuhan untuk mengerjakan soal ini, tetap saja aku tidak bisa melakukannya. Sulit sekali, bukan main."

    Mendengar perkataan itu Wiyah tertawa terpingkal-pingkal. Suaranya mengagetkan burung pipit yang hinggap di ranting pohon angsana.

    Rumi melanjutkan alasannya, "Bukan sulit sebenarnya, tapi aku saja yang tidak punya bakat dan minat terhadap angka. Sampai sekarang aku tidak tahu apa fungsinya dalam kehidupan nyata. Aku kira matematika dasar sudah cukup buatku. Sekolah tidak memiliki kemampuan untuk membaca bakat. Mereka menyamaratakan semua bakat para siswanya. Sepertinya sekolah diciptakan untuk membunuh kreatifitas para siswa. Bagaimana mungkin seorang yang tidak memiliki keahlian berhitung dituntut untuk menguasai matematika tingkat lanjut. Aku merasa membuang usia emasku di sekolah, tapi setidaknya dengan bersekolah aku tahu bahwa sekolah itu tidak penting. Sebab ketika aku sudah melakukannya dan aku bisa menilainya.

    Wiyah mengajak Rumi duduk di balai-balai bambu buatan bapaknya. "Rum, bagaimana kamu bisa berpikir seperti ini?"

    "Saya merasa pendidikan kita sudah rusak parahnya. Tujuan pendidikan bukan lagi memerdekakan manusia seperti yang digagas Ki Hajar Dewantara. Di mana setiap manusia bebas memilih menjadi apa nantinya, dengan catatan tidak melanggar aturan agama. Kalau aku mengamati, Ki Hajar sama visionernya dengan Sukarno, tapi dunia terlalu kejam untuk mereka berdua. Para generasinya tidak memahami apa yang dikemukakan mereka. Ajaran mereka tidak diimplikasikan dengan baik. Sukarno dan Ki Hajar hanyalah tinggal nama. Para tokoh sekarang hanya menjual nama dan rupa mereka untuk kepentingan pribadinya, bukan pemikiran beliau. Yah, tidak berat 'kan pembahasan ini?"

    Wiyah yang sejak awal mendengarkan dengan tatapan kosong, seperti harus menyegarkan ulang pikirannya, sebab apa yang dikatakan Rumi baru pertama kali Wiyah dengar. "Untuk seorang perempuan penurut sepertiku, ini cukup berat, Rum."

    "Maafkan aku, Yah. Aku tidak bermaksud membuatmu kesusahan." Dengan agak kecewa Rumi berkata.

    "Tidaklah, Rum. Jangan bersikap seperti itu, kamu tidak salah. Aku justru senang mendengar penjelasanmu itu. Silakan dilanjut, Rum."

    "Yah, salah satu alasan kenapa aku memilih jalan ini karena aku memegang teguh amanat Bung Karno, Tidak ada kompromi dengan nekolim. Jadi, nekolim itu neo kolonialisme dan imperialisme. Orang pada masa itu mengira bahwa nekolim adalah kembalinya para tentara asing beserta kelengkapan alutsista ke indonesia. Padahal tidaklah demikian, yang dimaksud nekolim oleh Sukarno itu penjajahan gaya baru. Tidak lagi menjajah dengan peperangan senjata dan bahkan para penjajah tidak datang lansung ke sini, mereka lebih memilih menyuruh para putra bangsa untuk merusak negaranya sendiri. Karena penjajahan gaya lama dianggap sudah tidak relevan dengan zaman. Mereka akan menjajah dengan sistem, ideologi dan beserta undang-undangnya. Bisa dikatakan bahwa nekolim itu tidak menggunakan alutsista tetapi pena, menandatangani peraturan baru yang merugikan banyak manusia. Di situlah letak visionernya Sukarno, pemikirannya melampaui zamannya. Bapak Proklamator kita keren sekali bukan?" Sambil mengerutkan dahi dan menatap wajah Wiyah yang berseri-seri. "Walaupun ada beberapa pemikiran Sukarno yang tidak aku suka dan itu biasa saja dalam perbedaan pendapat."

    "Apa itu Rum?" terheran-heran Wiyah bertanya pada Rumi.

    "Tidak sekaranglah, Yah. tidak cukup waktu kita. Lain kali saja akan aku ceritakan sesuatu yang menarik sekaligus aku tidak suka dari Sang Pemimpin Besar Revolusi."

     Dengan agak kesal Wiyah mendengar jawaban dari Rumi. Matahari mulai berada tepat di atas mereka berdua dan sayup-sayup suara azan zuhur berkumandang. Rumi meminta pamit pulang kepada orang tua Wiyah. Rumi berjalan menuju teras rumah dan mencium kedua tangan orang tua Wiyah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...