"Apa saja hal-hal yang kita tahu dan yang kita tidak tahu, Rum?" Wiyah masih ingin mendengarkan penjelasan Rumi lagi. Dia masih penasaran tentang sesuatu yang sifatnya melampaui batasan diri.
"Hal yang kita tahu itu semua yang bisa kita jangkau dengan panca indera dan akal pikiran kita, seperti manusia, air, hewan, pepohonan. Sedangkan yang kita tidak tahu itu hanya bisa dijangkau dengan hati, misalnya Tuhan, malaikat, jin, iblis, roh, jiwa, surga, neraka, dan masih banyak lagi."
"Kenapa harus dengan hati, Rum?"
"Karena keyakinan itu letaknya di hati, bukan hanya sekadar di pikiran apalagi hanya keluar dari mulut." Rumi mencoba menjelaskan dengan singkat. "Yang jadi masalah dari seluruh peradaban umat manusia adalah mereka memaksakan semua hal itu harus bisa diukur dengan isi kepala, jika tidak maka hal itu tidak ada. Misalnya seperti alam barzah, beberapa orang tidak percaya akan adanya pertanyaan di alam kubur, karena jika kita menggali makam maka memang tidak ada, sebab itu terjadi di dimensi lain, dan sampai saat ini tidak ada alat atau teknologi yang mampu mengungkapkanya. Lalu banyak orang menyimpulkan alam barzah itu itu tidak ada. Padahal itu salah, seharusnya para ilmuwan yang meyakini hal tersebut berusaha untuk menciptakan teknologi untuk mengungkapkan adanya alam barzah, bukannya malah tidak percaya. Itu satu dari pekerjaan rumah bagi para ilmuwan modern, dan masih banyak lagi tantangan terhadap apa yang dikatakan kitab suci dan perlu dibuktikan." Rumi memegangi rak kayu berpelitur lalu melanjutkannya, "Yah, menurutku di sinilah letak kecanggihan sebuah kitab suci, karena berisi informasi-informasi yang orang saat ini belum mampu membuktikannya tetapi suatu saat, entah di masa kapan itu akan terbukti. Aku percaya akan hal itu."
Ruang tamu Rumi menjadi lengang, hanya terdengar suara putaran baling-baling kipas angin di atas kepala mereka. Wiyah diam melamun tidak bergerak sedikit pun, mendengarkan penjelasan Rumi.
"Apa tanggapanmu mengenai ateis, Rum?
"Yah, perlu kamu tahu di dunia ini tidak ada yang namanya ateis," Rumi mempertegas menambahkan penjelasannya. "Para ateis bukan karena dia tidak percaya akan adanya Tuhan, tetapi dia kecewa kepada umat beragama kenapa Tuhan dijadikan alasan untuk membuat kehancuran. Padahal menurutku ini semua salah persepsi saja. kita tidak bisa menilai agama berdasarkan penganutnya, tetapi kitab sucinya. Penganut agama bisa benar dan bisa salah, tetapi kitab suci pasti benar sebab dia berisi firman-firman Tuhan, kalaupun itu memang murni dari Tuhan tanpa modifikasi. Salahnya orang yang kamu anggap ateis itu menilai agama dari pemeluknya. Semua terjadi karena kekeliruan dalam menafsirkan kitab agama. Perang bukan pilihan utama untuk mengakhiri permasalahan. Perang itu pilihan terakhir jikalau pihak yang satu tidak bisa diajak berdiskusi. Semua bisa diselesaikan dengan kepala dingin, Yah."
Rumi berhenti sejenak mengajak Wiyah duduk di kursi tamu dan mengisi dua gelas air mineral dari dispenser di sudut selatan-barat ruang tamu. Rumi duduk di kursi timur sedangkan Wiyah di seberangnya. Wiyah masih memegangi buku itu lalu meletakkannya di meja. Rumi mempersilakan Wiyah minum. Rumi tahu perlu banyak minum air mineral untuk pembahasan seperti ini agar otak tidak kekurangan oksigen. "Yah, jangan dikira para utusan Tuhan itu yang memulai peperangan. Mereka mencoba mempertahankan kehidupan pengikutnya, karena adanya penindasan yang sifatnya tidak bisa ditoleransi lagi. Para musuh nabi tidak bisa diajak untuk mengakhiri penindasan tersebut misalnya dengan tadi, berdiskusi, berdialog, bermufakat, atau berunding. Tujuan utama dari perang adalah untuk perdamaian?"
"Bagaimana mungkin damai adalah tujuan dari perang sedangkan kedua hal tersebut sangatlah berlainan." Wiyah terheran-heran mendengar ucapan Rumi.
"Yah, yang bisa menciptakan perdamaian adalah pihak yang menang, karena dia memiliki kekuasaan untuk menciptakan situasi dari setelah peperangan. Pernahkan kamu melihat teman lelakimu bertengkar?"
"Pernah." Wiyah menjawab dengan anggukan ritmis.
"Lalu dileraikan oleh seorang guru atau entah siapa. Pertanyaanku siapa pihak pertama yang mencoba mengulurkan tangannya untuk bersalaman agar hubungan keduanya pulih kembali?"
"Pihak yang memenangi perkelahianlah."
"Karena?"
"Karena dia yang mendapat penambahan mental dan kewenangan untuk memperbaiki hubungan."
"Benar sekali. Selama tiga kali pertemuan ini aku amati kamu mulai tercerahkan," dengan senyum sinis Rumi berkata pada Wiyah. "Yah, silakan cari perselisihan di mana pun entah itu peperangan atau perdebatan, pola tersebut akan tetap sama. "Maaf ,Yah, untuk penjelasan kali ini, suaraku bernada tinggi, sebab islam telah dikenal sebagai agama kriminal dan tugas bagi muslim adalah meluruskan sesuatu yang bengkok. Ini bukan hanya urusan antara keyakinan manusia kepada Tuhan, tapi lebih kepada menciptakan kenyamanan antarmanusia. Aku percaya orang lain akan merasa kurang nyaman jika berdekatan dengan seorang muslim karena masih memiliki stigma buruk terhadap islam.
"Tidak apa-apa, Rum. Aku tahu perasaanmu. Aku juga mengalami hal yang sama ketika mendengar perkataan seperti itu, agak risih, tetapi aku tidak punya upaya untuk memutarbalikkan argumen mereka."
Rumi menyandarkan punggung di kursi dan meletakkan kedua tangannya di lengan kursi sambil mengembuskan napas. Dia meneguk sepertiga air mineral dalam gelas. Wiyah masih terduduk memperhatikan roman wajah Rumi seraya menunggu pembahasan apa yang akan dilanjutkan Rumi. Jam dinding masih menunjukkan pukul delapan, masih pagi, masih ada penjelasan yang lebih panjang.
Komentar
Posting Komentar