Mendengar nama Tamansiswa, yang terlintas dipikiran saya adalah sebuah tempat yang menyenangkan bagi pelajar untuk mencari kebebasan, tapi itu berlaku seratus tahun yang lalu ketika Ki Hajar Dewantara mendirikan sebuah sekolah rakyat sebagai antitesis pendidikan kolonial. Pendidikan kolonial mencetak generasi tenaga kerja, buruh, karyawan yang dituntut patuh dan disiplin tanpa mempertanyakan segala sesuatu kebenaran yang ada. Ia tidak mungkin menciptakan manusia yang berpikir kritis, berprinsip, dan idealis. Tamansiswa bukanlah pendidikan barat yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai tolok ukur utama. Bukan yang pintar lalu mencurangi yang lemah. Tetapi spiritualitas, adab, dan budi pekerti adalah beberapa dari tujuan tamansiswa. Setelah kepergiannya Tamansiswa justru terseret arus pendidikan kolonial. Tamansiswa tidak lagi menjadi tamansiswa yang didirikan Ki Hajar pada tahun 1922 lalu. Semangat antipenjajahan itu memudar dan menuju kehilangan. Pendidikan karakter untuk membang...
Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...