Mendengar nama
Tamansiswa, yang terlintas dipikiran saya adalah sebuah tempat yang
menyenangkan bagi pelajar untuk mencari kebebasan, tapi itu berlaku seratus
tahun yang lalu ketika Ki Hajar Dewantara mendirikan sebuah sekolah rakyat
sebagai antitesis pendidikan kolonial. Pendidikan kolonial mencetak generasi
tenaga kerja, buruh, karyawan yang dituntut patuh dan disiplin tanpa
mempertanyakan segala sesuatu kebenaran yang ada. Ia tidak mungkin menciptakan
manusia yang berpikir kritis, berprinsip, dan idealis. Tamansiswa bukanlah
pendidikan barat yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai tolok ukur utama. Bukan
yang pintar lalu mencurangi yang lemah. Tetapi spiritualitas, adab, dan budi
pekerti adalah beberapa dari tujuan tamansiswa. Setelah kepergiannya Tamansiswa
justru terseret arus pendidikan kolonial. Tamansiswa tidak lagi menjadi
tamansiswa yang didirikan Ki Hajar pada tahun 1922 lalu. Semangat antipenjajahan itu
memudar dan menuju kehilangan. Pendidikan karakter untuk membangun kepribadian
bangsa semasa era revolusi kini terkubur masa lalu.
Menjadi pohon
yang berdiri tinggi menjulang dengan cabang dedaunannya yang menaungi dari
terik panas sinar matahari bukanlah perkara yang mudah. Sebuah pohon harus
memiliki akar yang mencengkeram tanah sedalam-dalamnya. Dan akar itu adalah
dasar pemikiran Ki Hajar sendiri. Sebesar apa pun pohon jika hanya berdiri
ditopang akar yang ringkih, pasti akan mudah tumbang tanpa menunggu angin badai
menerpa. Kira-kira seperti itulah potret Tamansiswa di masa kini tanpa pondasi
pemikiran Ki Hajar.
Seratus tahun
perjalanan Tamansiswa menjadi sebuah lembaga pendidikan mengalami pembelokan
yang jauh dari apa yang dicita-citakan Ki Hajar. Menurut beliau tujuan pendidikan
adalah kemerdekaan, atau dalam frasa lain: selamat dan bahagia. Coba pembaca
pikirkan sejenak atau sekadar menerka-nerka apa yang dimaksud Ki Hajar tersebut
Pendidikan
adalah cara manusia untuk membebaskan dari belenggu penindasan. Saya hidup
tanpa mengganggumu dan Anda tidak perlu mengganggu saya. Cara untuk menjadi
seseorang selamat dunia dan akhiratnya, dan bahagia jasmani dan rohaninya. Jadi
singkatnya, tujuan dari pendidikan adalah jalan menuju Tuhan. Manusia berasal
dari Tuhan dan kita suatu saat akan kembali kepada-Nya. Kehidupan ini proses
menuju-Nya, tetapi yang menjadi masalah adalah apakah Dia Yang Mahabesar
menerima atau justru mencampakkan hamba-Nya. Lewat tamansiswa inilah instrumen
yang tepat untuk pendidikan manusia Indonesia.
Yang cerdik
dari Ki Hajar terkait sistem pendidikannya adalah beliau tidak menggunakan sama
sekali istilah dari satu agama tertentu, Islam, tetapi bunyi dari ajarannya
senada dengan ajaran islam. Dugaan saya mengatakan agar ajaran beliau bisa
diterima oleh semua pemeluk agama. Maka dari itu ketika saya membaca buku ketamansiswaan, saya tidak menemukan
celah sedikitpun yang bertentangan dengan ajaran islam. Tamansiswa adalah
metode pendidikan yang islami dan disesuaikan dengan antropologi kebangsaan
indonesia khususnya jawa. Kalaupun ada pakar atau apalah itu jika
mempermasalahkan tamansiswa, besar kemungkinan ia tidak memahami esensi dari
islam dan tamansiswa.
Ki Hajar
menerapkan sistem among dalam metode pembelajarannya, yaitu guru mengikuti
bakat dan kebutuhan siswanya. Beliau meyakini bahwa setiap manusia yang lahir
memiliki kodrat alam masing-masing. Kodrat alam dalam ilmu modern dikenal
sebagai bakat. Guru bukan pusat dari ilmu pengetahuan melainkan fasilitator
proses belajar mengajar. Ia bertugas mengamati dan menganalisa dari bakat para
siswanya agar kelak kehidupan mereka tidak terpontang-panting. Yang terjadi
selama ini pada pendidikan modern adalah semua bakat para siswa lenyap diganti
dengan kemauan kebutuhan industri kapitalis liberal. Pemerintah tidak mampu
menangkal hasrat kapitalis liberal. Mau tidak mau kurikulum dikonsep sesuai
dengan keinginan pemodal. Pendidikan justru cenderung merusak kodrat alamiah
anak manusia. Contoh yang pernah menimpa saya waktu di sekolah yaitu saya ini
tidak memiliki keahlian berhitung yang mumpuni, walaupun kemampuan berhitung
saya hanya sebatas matematika dasar. Maka dari itu saya mengambil jurusan ilmu
sosial, saya seorang yang tertarik dengan kajian sejarah, dengan anggapan
sebelumnya minim penghitungan. Fakta lapangan mengatakan setengah dari mata
pelajaran yang kurikulum berikan adalah penghitungan yang sulitnya bukan main.
Bukannya kepekaan saya kepada sejarah terasah justru kebencian saya kepada
penghitungan semakin meningkat. Selama tiga tahun saya tidak mendapatkan
apa-apa dari sekolah kecuali teman. Itu belum lagi enam tahun sebelumnya di
sekolah dasar dan menengah pertama. Waktu saya terbuang sia-sia. Sekolah tidak
mampu memenuhi kebutuhan peminatan saya. Sekolah tidak mampu menemukan bakat
saya. sekolah tidak memberi fasilitas untuk mendukung cita-cita saya. Sekolah
tidak mengajari saya tentang karakter, kejujuran, cinta tanah air, berpikir
kritis, dan kepekaan. Sekolah modern jauh dari apa yang dikonsep oleh Bapak Pendidikan.
Kembali ke
permasalahan saya tadi, saya menganggap diri saya bodoh waktu itu karena
seseorang yang pintar diukur dari kemampuannya mengolah angka. Hari-hari terasa
membosankan. Sampai akhirnya saya menemukan adagium emas dari Einstein, beliau
berkata, “jika engkau mengukur kecerdasan ikan dari caranya memanjat pohon,
maka seumur hidupnya dia akan merasa bodoh.” Ini satu frekuensi dengan kodrat
alamnya Ki Hajar. Ternyata saya pintar selain dalam hal berhitung. Saya mencari
ilmu pengetahuan yang sebenarnya di tempat lain. Sekolah hanyalah batu loncatan
bagi saya.
Menurut Ki
Hajar, ada tiga pusat pendidikan, pertama keluarga, kedua masyarakat, dan
terakhir adalah sekolah. Ketiga urutan tempat tersebut tidak boleh dibalik atau
diacak seenakanya. Guru pertama dari anak manusia adalah orang tuanya, kemudian
tetangga/masyarakat, kemudian barulah guru yang ada di sekolah. Tetapi manusia
modern menganggap sekolah formal adalah satu-satunya tempat pendidikan dan
mengabaikan kedua tempat sebelumnya, maka dari itu manusia moder kehilangan
moral, etika, dan karakter.
Dari
pengalaman saya di sekolah, saya tahu kenapa banyak siswa yang sering bolos.
Kenapa siswa yang pintar secara akademik tetapi tidak dengan ilmu kehidupan.
Selama ini pemerintah salah menerapkan pendidikan yang memerdekakan. Bahkan
orang-orang tamansiswa pun malu dengan ketamansiswaannya dan enggan menerapkan
tamansiswanya. Mereka terseret arus pendidikan kolonial. Bapak Pendidikan
Indonesia bukanlah Ki Hajar Dewantara melainkan Daendels. Dialah, Daendels,
yang mencanangkan pendidikan sesuai kebutuhan kolonialis dan imperialis yang
tidak sadar dilanjutkan oleh pemerintah indonesia. Tut wuri handayani hanyalah tinggal jargonnya saja.
Komentar
Posting Komentar