Langsung ke konten utama

Diberkatilah Maradona


For Argentinians, football is a religion. Every religion has its god, and the god of football is Diego.

Suatu ketika tuhan turun ke bumi dengan segala keagungannya menjelma menjadi manusia yang lahir dari kalangan kelas bawah di Villa Fiorito, 30 oktober 1960. Kelahirannya diperingati sebagai Natal sekaligus penanda awal kalender para pemujanya, menggantikan penanggalan masehi. Dialah Diego Armando Maradona yang dikultus sebagai juru selamat sepak bola Argentina. Dialah alfa dan omega, awal dan akhir kehidupan. Satu-satunya di alam semesta. Dulu, kini, dan nanti. Kebesaran namanya akan abadi dan dikenang berbagai generasi. Bahkan sekelas La Pulga pun belum mampu mengganti kedudukannya. Inilah kisahnya.

Dialah yang dibenci beberapa sekaligus dicinta berjuta penggemar Argentina. Dengan tangan kirinya yang kuasa membobol jala gawang Peter Shilton dari Britania. Atau mungkin Grand Jeté yang memukau. Menggiring bola melewati lima pemain sejauh 60 meter, solo run, disertai lompatan sejauh dua meter, khas tarian balet yang hanya bisa dilakukan oleh penari profesional, selang 4 menit setelah Hand of God tercipta. Dua mukjizat yang melengkapi Argentina menjuarai Piala Dunia 1986. Apalagi beberapa tahun sebelum itu, Argentina dan Inggris mengalami Falklands War, perang teritorial di Samudera Atlantik bagian selatan. Benar-benar tuhan berada di antara orang-orang Argentina pada waktu itu. Tuhan bersemayam di tangan dan kaki Maradona.

Mukjizat tidak berhenti sampai di situ. Ia menyeberangi lautan menuju Naples untuk menunjukkan keajaibannya. Bukan Milan, Turin, atau kota di Italia utara lainnya yang identik dengan kemajuan, kekuasaan, dan modernisasi. Naples terletak di daerah Italia selatan yang kumuh, miskin, dan merepotkan negara. Seperti Yesus yang dipilih tuhan di wilayah rendahan, Nazaret, untuk menyampaikan jalan, hidup, dan kebenaran. SSC Napoli adalah klub yang tidak diunggulkan kala itu. Terbiasa dengan kekalahan dan kekalahan. Ia, Maradona, menggenapi takdir tuhan dengan menjadikan SSC Napoli sebagai tim pertama dari Italia selatan yang memenangkan trofi serie A dua kali dan UEFA Cup 1988/89. Ia melengkapi nubuat perjanjian baru, "Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, maka Ia akan meninggikanmu." Sekalipun ia adalah tuhan sepak bola, ia sering bermain dengan penduduk Naples di jalanan kotor.

38 Natal berikutnya, tiga pemuda mendirikan Gereja Maradona sebagai pengkultusan kepada pesepakbola terbaik sepanjang masa. Maradona memiliki setengah juta jemaat di seluruh dunia yang tersebar di Brazil, Mexico, Italia, dan Spanyol. Ini bukan murni agama yang turun dari langit melainkan sinkretisme antara gereja katolik dan sepak bola. Mereka tidak benar-benar menyembah seperti agama pada umumnya, tetapi lebih kepada representasi hasrat dan kesenangan semata. Tapi bagaimanapun gereja ini memiliki dogma layaknya agama resmi. Mereka menyebutnya Ten commandments. Dua dari Sepuluh Perintah Diego berbunyi, "Cintai sepak bola di atas segalanya. Sebarkan berita keajaiban Diego Maradona ke seluruh alam semesta." Dan inilah kesaksian beserta doa bagi jemaatnya, I believe in Diego. All powerful football player. Creator of magic and passion. Diego kami, yang ada di bumi, dikuduskan kaki kirimu, keajaibanmu datang, tujuan mereka dikenang.

Sama halnya di Rosario, Di Naples penggemar Napoli pun mendirikan Kapel Maradona. Ada banyak tempat pemujaan di Naples, tetapi Kapel Maradonalah yang paling menarik untuk dikunjungi. Juru taktik kenamaan Jose Mourinho pun setelah tiba di kota ini segera berziarah ke situs religius itu sebelum berhadapan dengan SSC Napoli. Kota ini diwarnai dengan serba-serbi yang beraroma Maradona, mural, patung, altar, jersei, foto, syal, stiker, replika piala dan bola. Memorabilia ini mudah dijumpai di seluruh jalan dan gang kota Naples. Terpampang rapi di dinding rumah, toko, bar, kafe, restoran, studio, dan salon. Tak luput satu pun tempat yang tersisa tanpa persembahan kepada Diego.

Di luar laga dia adalah pejuang kelas bawah. Walaupun di masa dewasa ia hidup dalam kemewahan, Diego tetaplah seorang manusia yang dibesarkan dari kesulitan. Ia kerap bersinggungan dengan dewan pemerintah bahkan pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, Paus John Paul II. "Bagaimana mungkin ia, Paus, bisa tinggal di bawah langit-langit emas, sedangkan kunjungannya ke negara miskin kemudian menciumi anak kecil." Ucapnya setelah mengunjungi Vatikan. Idealismenya memilih memperjuangkan kesetaraan sosial. Ia sering bercengkerama dengan pemikir sosialis amerika latin semisal Fidel Castro, Hugo Chavez, Nicolas Maduro, dan Evo Morales. Di lengan tangan kanannya terlukis wajah revolusioner Che Guevara yang ditunjukkan dengan bangga kepada pewarta sambil menghisap cerutu kuba. Ia mengutuk iblis berwujud manusia dan membenci kebijakan George Bush dan mengkampanyekan anti-Amerika. Serta mendukung penuh kemerdekaan bangsa Palestina.

Dua tahun lalu ia telah pulang ke pangkuan tuhan. Meninggalkan jutaan pemujanya. Jalan-jalan disesaki pelayat mengenakan atribut. Sembari bernyanyi sekaligus memanjatkan doa. Berharap tuhan bangkit kembali menjelma menjadi wujud manusia dan berada di antara pemujanya.

Dialah Diego, pancaran dari cahaya ilahi yang menerangi bumi. Epitome ideal tak terganti skuad Argentina dan klub Napoli. Ia tidaklah mati, ia hidup dalam sanubari pecinta sepak bola. Ia mati untuk abadi. Karena dengan mati, kehidupan sesungguhnya dimulai. Ia naik ke langit agar pemujanya semakin merindukannya. Ia telah mengakhiri pertandingan yang baik, ia telah mencapai garis akhir dan ia telah memelihara iman. Diego menunjukkan kepada umat manusia bagaimana memainkan sepak bola yang liar, sulit ditebak, nan indah. Seperti itulah kisah tuhan yang menjelma manusia yang terekam dalam dunia sepak bola.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Kalah

Ketika peluit ditiup aku selalu ragu, engkau akan membawa angka atau justru dibikin malu. Entah di kandang atau sebagai tamu. Aku sendiri selalu khawatir ketika bola di muka gawang. Mungkin saja blunder atau sekadar hoki. Berharap bola segera keluar dari area pertahanan. Semakin kencang dada ini berdebar. Disepak jauh beruntung berbuah angka, jika sebaliknya menembus batas akhir menampar jala, ritus-ritus kolega menaruh kedua tangan di atas kepala memasang waajah kecewa.

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...