Langsung ke konten utama

Stadion yang dibangun para penggemarnya

Pernahkah anda mendengar An der Alten Försterei? Kalau nama itu terasa asing di telinga anda bagaimana dengan FC Union Berlin? Cukup familiar, bukan?

An der Alten Försterei adalah stadion yang dibangun langsung oleh para penggemar Fc Union Berlin selama kurun waktu satu tahun, 2008-2009. Iya, anda tidak salah membacanya. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Bila kita membicarakan sepak bola Jerman, maka kita tidak akan ada habis-habisnya membahas tentang inovasi dan profesionalitas baik federasi maupun klub-klub kontestan liga. Akan selalu ada ide dan gebrakan yang menarik dan bahkan belum pernah terpikirkan oleh sumber daya manusia pada umumnya, dari manajemen sampai penggemarnya. Memang benar Premier league adalah liga paling memukau di alam semesta, disuguhkan strategi permainan terbaik, media broadcasting yang termutakhir, dan bintang-bintang lapangan hijau, tetapi untuk urusan finansial yang sehat, stadion yang selalu penuh, talenta muda, koreografi yang menakjubkan, Bundesliga berada di urutan pertama. Untuk menjadi klub sepak bola yang profesional tidak perlu melulu berurusan dengan kucuran dana yang sangat melimpah. Cukup dengan keterbukaan komunikasi, transparansi finansial, arah tujuan yang jelas, dan yang paling penting adalah melibatkan penggemar dalam seluruh kegiatan klub. Namun ini bisa terjadi jika sebuah klub dilingkupi semangat menyambung rantai sejarah. Federasi juga berperan sangat penting dalam jalannya kompetisi. Aturan yang jelas, kompetisi yang beragam, jadwal yang tersusun rapi, dan diisi oleh orang-orang yang benar-benar mencintai sepak bola. Bukan korupsi, pengaturan skor, status juara yang sudah dipesan, atau mafia sepak bola yang sering diberitakan di jejaring sosial media. Saya sudah beberapa tahun ini tidak menonton siaran langsung pertandingan liga 1 Indonesia. Alasan saya sederhana karena tidak adanya kehadiran Persijap Jepara di kompetisi tersebut. Jangankan hasil pertandingan kemarin sore, pemain siapa bermain di klub mana pun saya tidak tahu. Buat apa saya membuang waktu untuk mengikuti liga yang kotor dan tidak menarik sama sekali. Lebih baik saya mengikuti liga-liga berkualitas di luar sana. Kecuali jika Persijap kembali ke kompetisi tersebut. Sebab Persijap adalah pengecualian atas hidup saya. Tanpa bertele-tele membicarakan keburukan liga tersebut, langsung saja saya menuju kota Berlin, tepatnya Stadion An der Alten Försterei.

Stadion yang sudah tua, usang, dan tidak layak, yang berdiri sejak tahun 1920 itu mampu disulap oleh para penggemar dengan tenaga dan dana yang seadanya menjadi stadion yang modern. Sepertinya ini adalah satu-satunya stadion yang dibangun oleh penggemarnya. Entah mungkin masih ada Unioner-Unioner lain di dunia ini. Hanya ada 10 pekerja profesional dan dibantu sebanyak 60-90 relawan yang datang setiap pukul 7 pagi secara bergantian, atau jika dijumlah sebanyak 2.300 relawan ikut berpartisipasi selama masa konstruksi. Menurut saya ini adalah bentuk kecintaan tertinggi bagi pecinta klub sepakbola. Karena memberikan waktu dan tenaga untuk mengabdi agar klub sepak bolanya memiliki hunian yang layak. Seolah-olah peluh keringat yang terjatuh menyatu dengan setiap jengkal bangunan yang menciptakan ikatan batin tersendiri antara penggemar, stadion, dan klub. Seperti pada kebanyakan klub dan penggemar sepak bola Jerman, menghemat biaya dan mengisi waktu luang adalah alasan utama. Daripada mereka terbaring di atas ranjang, lebih baik mereka datang ke stadion bertemu kawan-kawan dan berbuat sesuatu untuk masa depan klub yang lebih baik. Walaupun hanya stadion kecil yang berkapasitas 22.012 penonton, (saya tidak tahu apakah ini kebetulan atau sudah direncanakan kenapa menyisakan angka 12 di belakang 22.000 yang menyimbolkan eksistensi para penggemar) tetapi memiliki fasilitas yang mendukung kebutuhan sarana dan prasarana bagi pemain, penggemar, manajemen. Mulai dari nonton bareng siaran Piala Dunia sampai sekelas perayaan Natal pun pernah terselenggarakan. Stadion ini benar-benar terbuka untuk semua orang. Konon katanya jika penggemar ingin berbincang atau berdiskusi, pihak manajemen dengan tangan terbuka bersedia menerimanya. Stadion yang menguntungkan semua pihak dalam dunia sepak bola. Untuk kriteria stadion ramah keluarga, ini bisa menjadi acuan. Keunikan lain dari stadion ini adalah dibangun di tengah-tengah hutan kota, the köpenick forest. Ini berbeda dari sekitar stadion kita, Gelora Bumi Kartini, bukan hutan kota menurut saya, melainkan kebun depan rumah.

Bayangkan negara dominan bermusim dingin yang berlokasi di kawasan ibu kota, Berlin, mendirikan berhektar beton tetapi masih mempertahankan lahan hijau. Sehingga ketika para penggemar menuju stadion, mereka harus berjalan melewati pohon-pohon tinggi menjulang di samping kanan-kiri dan dinaungi rindang daun yang lebat. Seolah-olah penyegaran ganda.

Merancang stadion seperti ini bisa dilakukan jika keuangan klub sedang minim-minimnya, bukan untuk memperalat tenaga penggemar agar keuangan investor tetap utuh. Apalagi terselip hasrat kepentingan politik. Tulisan ini ditujukan kepada siapa pun orang-orang yang tulus menghidupi sebuah klub sepak bola.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Kalah

Ketika peluit ditiup aku selalu ragu, engkau akan membawa angka atau justru dibikin malu. Entah di kandang atau sebagai tamu. Aku sendiri selalu khawatir ketika bola di muka gawang. Mungkin saja blunder atau sekadar hoki. Berharap bola segera keluar dari area pertahanan. Semakin kencang dada ini berdebar. Disepak jauh beruntung berbuah angka, jika sebaliknya menembus batas akhir menampar jala, ritus-ritus kolega menaruh kedua tangan di atas kepala memasang waajah kecewa.

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...