Langsung ke konten utama

Postingan

Perempuanku

  Apa yang tidak aku temukan dalam ilmu pengetahuan, aku temukan dalam dirimu. Seolah-olah aku merasa bahwa aku menemukan diriku dalam dirimu Dan ternyata kamu adalah perempuan yang selama ini aku cari Dan ternyata kamu adalah bunyi yang aku hayati setiap pagi Dan untuk pertama kalinya aku bersaksi bahwa tiada perempuan selain engkau.   Aku percaya bahwa Tuhan yang menciptakan perempuan secantik engkau adalah Tuhan Yang Mahabesar dan Maha Pengasih.

Sebahagia itu

  Detak jantungku berdebar dengan kencang Membayangkan kedua matamu yang berbinar-binar Tak kuasa aku Tapi lebih menderita jika engkau jauh dari pandangan mata Menantimu di ujung sang kala   Pesanmu, Tiap-tiap kata yang kauucapkan, Aku masih ingat. Tawamu Sesekali rayuan Aku tidak pernah sebahagia itu.

Dalam sela-sela doa

  Kenapa baru sekarang kamu ke mari Setelah sekian lama aku menanti Aku kira kamu pergi dan takkan kembali Mencari seseorang yang pasti   Engkau dara wujud kesempurnaan surga Tak mampu kumenahan air mata Mengalir deras sesenggukan mengagumimu Perempuan yang selalu kusisipkan dalam sela-sela doa

Lega rasanya

  Lega rasanya Bila aku mendengarmu telah sendiri Apakah kamu juga menungguku?   Terkadang aku percaya diri akan pertanyaan itu Tapi yang kutahu Aku tidak sendiri dalam mencintaimu Kutahu ini memang berat Tapi satu hal yang membuatku bertahan Aku tidak mungkin menyerah walau engkau mengabaikanku berkali-kali Tidak mungkin aku berhenti sampai engkau dalam pinangan

Seorang Jepara datang kepadaku #1

  Seorang Jepara datang kepadaku dengan raut muka tersenyum ketika aku duduk dan bersandar di bawah pohon mangga di atas rerumputan hijau yang telah kering dari embun pagi. Dengan pakaian lusuh tanpa alas kaki, tetapi tidak tercium bau apak sama sekali. Aku heran padanya. Tiba-tiba duduk di sampingku dengan percaya diri tanpa menunggu kupersilakan terlebih dahulu. Tanpa memperkenalkan nama dan asal muasalnya. Tapi dari cara bicara, dialek dan logatnya, aku pastikan ia dari Jepara. Ia mulai berbicara panjang lebar mengenai keresahanku pada kehidupan yang belum pernah aku bicarakan kepada orang-orang. Aku mengajukan pertanyaan mendasar tentang kebaikan. “Apa yang kamu ketahui tentang kebaikan?” Tanpa berpikir lama ia menjawab, ”Kebaikan itu seperti pohon yang menaungi kita. Ia berdiri di tanah yang kering menopang dahan dedaunan, dan melindungi siapapun di bawahnya dari sengatan panas terik matahari. Ia tidak mempedulikan maksud dan apa saja yang dikerjakan di sekitarnya. Ia tidak pili

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah-ola

Seratus tahun Tamansiswa

  Mendengar nama Tamansiswa, yang terlintas dipikiran saya adalah sebuah tempat yang menyenangkan bagi pelajar untuk mencari kebebasan, tapi itu berlaku seratus tahun yang lalu ketika Ki Hajar Dewantara mendirikan sebuah sekolah rakyat sebagai antitesis pendidikan kolonial. Pendidikan kolonial mencetak generasi tenaga kerja, buruh, karyawan yang dituntut patuh dan disiplin tanpa mempertanyakan segala sesuatu kebenaran yang ada. Ia tidak mungkin menciptakan manusia yang berpikir kritis, berprinsip, dan idealis. Tamansiswa bukanlah pendidikan barat yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai tolok ukur utama. Bukan yang pintar lalu mencurangi yang lemah. Tetapi spiritualitas, adab, dan budi pekerti adalah beberapa dari tujuan tamansiswa. Setelah kepergiannya Tamansiswa justru terseret arus pendidikan kolonial. Tamansiswa tidak lagi menjadi tamansiswa yang didirikan Ki Hajar pada tahun 1922 lalu. Semangat antipenjajahan itu memudar dan menuju kehilangan. Pendidikan karakter untuk membangun k

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah-ola

Persijap sepanjang usia

Menjelang ulang tahun Persijap Jepara yang ke-68 ini, saya ingin menyampaikan janji dan kekecewaan saya dalam mendukung klub ini. Bukan karena hasil atau raihan trofi.      Beberapa tahun saya mengikuti, beberapa tahun saya berhenti, beberapa tahun pula saya kembali. Bukan sebagai penggemar yang duduk sambil menikmati pertandingan, melainkan menjadi penggemar yang bersorak dan ada satu harapan memperbaiki ekosistem manusia Jepara. Tujuh tahun lalu harapan itu muncul, kemudian beberapa tahun setelah itu, hancur. Saya tidak tahu apakah masih bisa diperbaiki atau tidak. Kalaupun masih bisa perlu gerakan yang masif dan lompatan yang jauh ke depan untuk memperbaikinya.      Saya tidak bermaksud menjadi penggemar paling setia apalagi intelektual di antara ribuan penggemar lainnya. Saya hanya seorang penggemar yang ingin mengabadikan Persijap Jepara 1954 dalam dasar hati saya dan tidak ada klub sepak bola lain yang berhak menggantikan kedudukannya. Cukup sulit memang menjadikan Persijap s

Tidak tepat untuk saat ini

  Seperti biasanya dalam kebanyakan problematika, saya sering berbeda dalam mengambil keputusan. Bukan karena agar terlihat cerdas atau apa, tapi seperti ada penolakan karena hal-hal yang sifatnya ambigu. Yang saya rasakan adalah belum tentu yang itu pasti itu dan ini pasti ini. Bisa saja kelihatannya itu padahal ini, dan ini tetapi itu. Dari paradigma seperti itu saya sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Salah langkah dampaknya semakin rumit di esok mendatang. Terdengar berita tersebar dari layar ke layar bahwa akan ada bentuk penyampaian semacam keluh kesah dan harapan terkait masa depan Persijap Jepara. Saya sendiri tidak mengikuti pergerakan tersebut, sebab tidak ada rasa tega dalam diri saya bahwa menginginkan sesuatu yang lebih dan lebih dari sesuatu yang saya cintai. Tidak ada keinginan yang memaksa, bahkan untuk menguasai sekalipun. Untuk saat ini dan musim-musim kemarin saya hanya bisa memberikan bentuk apa pun di dalam kemampuan saya. Maksud saya begini, kita ta