Seorang Jepara
datang kepadaku dengan raut muka tersenyum ketika aku duduk dan bersandar di
bawah pohon mangga di atas rerumputan hijau yang telah kering dari embun pagi.
Dengan pakaian lusuh tanpa alas kaki, tetapi tidak tercium bau apak sama
sekali. Aku heran padanya. Tiba-tiba duduk di sampingku dengan percaya diri
tanpa menunggu kupersilakan terlebih dahulu. Tanpa memperkenalkan nama dan asal
muasalnya. Tapi dari cara bicara, dialek dan logatnya, aku pastikan ia dari
Jepara. Ia mulai berbicara panjang lebar mengenai keresahanku pada kehidupan
yang belum pernah aku bicarakan kepada orang-orang.
Aku mengajukan
pertanyaan mendasar tentang kebaikan. “Apa yang kamu ketahui tentang kebaikan?”
Tanpa berpikir lama ia menjawab, ”Kebaikan itu seperti pohon yang menaungi
kita. Ia berdiri di tanah yang kering menopang dahan dedaunan, dan melindungi
siapapun di bawahnya dari sengatan panas terik matahari. Ia tidak mempedulikan
maksud dan apa saja yang dikerjakan di sekitarnya. Ia tidak pilih kasih kepada
siapa pun. Ia tidak hanya menaungi orang baik tetapi juga orang jahat. Dan juga
tidak mungkin memperlebar ranting dan mengibaskan daunnya kepada yang baik agar
merasa nyaman dan betah berlama-lama di bawahnya, dan juga tidak melipat
ranting dan menggugurkan daunnya kepada yang jahat agar cepat meninggalkannya. Misalnya
engkau menebang samping kanan-kiri ranting dahannya, ia tidak akan membencimu.
Ia justru berterimakasih kepadamu karena telah membantunya menjadi pohon yang
lebih tinggi dan besar, dan juga akan memberimu buah-buahan yang jauh lebih
melimpah. Ia tidak mengharapkan apa pun darimu, kecuali cintamu.”
Aku mulai
terbius oleh kata-kata yang dikeluarkan dari mulutnya dan segera mengosongkan
pikiranku yang dipenuhi oleh kekacauan dan kecemasan.
Ia
melanjutkan, “Orang baik adalah pohon yang selalu menerima segala bentuk
tindakan dari makhluk hidup lainnya. Seandainya engkau menyiraminya dengan air
yang segar dari sumur di waktu musim panas, ia akan memberimu buah-buahan yang
nikmat untuk dimakan. Dan misalnya engkau mengencinginya dengan air senimu yang
kuning pekat, ia tetap memberimu buah-buahan yang sama seperti engkau menyirami
dari air sumur itu. Ia dengan senang hati menerima segala bentuk perlakuanmu. ”
Aku mengubah
posisi dudukku dan menyangga kepalaku dengan jari jemari mendengar lebih jauh
penjelasan orang ini. Dari penampilannya ia bukan lulusan akademisi, tetapi isi
dan cara ia menyampaikan melebihi dari siapa pun yang pernah aku temui. “Tapi
bagaimana dengan daunnya yang kering mengotori halaman rumah orang-orang?”
“Kamu masih
belum mengerti. Ia menggugurkan daun dan mungkin beberapa buahnya yang busuk
untuk kebaikannya dan kebaikanmu juga pastinya. Daunnya akan hancur dan menyatu
dengan tanah guna kelangsungan hidupnya, dan tentunya untuk memenuhi kebutuhan
nutrisimu. Kamu tidak perlu membeli pupuk yang semakin hari tidak menentu harganya
yang tercampur bahan yang membahayakan ciptaan Tuhan. Cukup kamu berikan
sentuhan kasih sayangmu padanya. Perlakukanlah ia seperti kamu memperlakukan
dirimu sendiri. Jangan engkau rusak batang dan akarnya. Sebab ia tidak akan
mengganggumu. Justru ia akan memberimu manfaat yang jauh melebihi apa pun yang
kamu ketahui. Dan bahkan engkau pun tidak pernah menyiraminya, ia tetap
memberimu keteduhan. Ia memberimu tanpa perlu kamu memintanya terlebih dahulu.”
Ia berhenti sejenak dipertengahan bicara kemudian menghela napas.
“Ia menjadi
rumah untuk semua makhluk Tuhan tak terkecuali dirimu. Mungkin kamu masih
menganggap ia mengotori halaman rumahmu, tapi bagaimanapun kebaikannya jauh
melampaui kebaikanmu selama ini. Lihatlah rimbun daun yang menjadi rumah
beragam serangga, atau buahnya yang kadang disantap binatang liar yang
kelaparan di tengah gelapnya malam, atau rantingnya menjadi penopang rumah
induk burung untuk merawat anak-anaknya agar menjadi burung perkasa di luasnya
angkasa, dan batangnya kerap dijadikan pilar penyangga rumah anak manusia yang
menjadi harapan orang tuanya. Kalaupun engkau menebangnya, Ia akan menjadi
pohon yang baru dan memberimu kebaikan yang baru pula.”
Lamat-lamat
aku memperhatikan orang ini dan semakin terkesan kepada arah pembicaraannya.
“Apa yang tidak boleh aku lakukan kepada orang baik?”
Ia menjawab,
“Kamu boleh memperlakukan semaumu. Kamu boleh mengambil semua buahnya tanpa
tersisa, atau memangkas rimbunan daunnya, atau bahkan kamu boleh menebang
batangnya. Tapi satu hal yang harus kamu ketahui, kamu tidak boleh dan jangan
sampai mencabut akarnya dari tanahnya. sebab jika pohon itu telah pergi bahkan
mungkin tidak pernah kembali, kamu pasti akan merindukan segala kebaikannya,
yang entah di masa yang akan datang kamu baru memahaminya.”
Aku terdiam
tak berkedip mendengarkan kalimat demi kalimat yang ia lontarkan seolah-olah menampar
wajahku.
Ia
melanjutkan, “Apa yang aku bicarakan kepadamu adalah sedikit dari kebaikan yang
kita ketahui. Masih banyak kebaikan yang perlu kita ketahui dan tak terlupa,
kita taburkan benih-benih kebaikan ke seluruh alam semesta. Berbuatlah baik
kepada siapa pun termasuk orang-orang yang membencimu.”
Komentar
Posting Komentar