Langsung ke konten utama

Seorang Jepara datang kepadaku #1

 

Seorang Jepara datang kepadaku dengan raut muka tersenyum ketika aku duduk dan bersandar di bawah pohon mangga di atas rerumputan hijau yang telah kering dari embun pagi. Dengan pakaian lusuh tanpa alas kaki, tetapi tidak tercium bau apak sama sekali. Aku heran padanya. Tiba-tiba duduk di sampingku dengan percaya diri tanpa menunggu kupersilakan terlebih dahulu. Tanpa memperkenalkan nama dan asal muasalnya. Tapi dari cara bicara, dialek dan logatnya, aku pastikan ia dari Jepara. Ia mulai berbicara panjang lebar mengenai keresahanku pada kehidupan yang belum pernah aku bicarakan kepada orang-orang.

Aku mengajukan pertanyaan mendasar tentang kebaikan. “Apa yang kamu ketahui tentang kebaikan?” Tanpa berpikir lama ia menjawab, ”Kebaikan itu seperti pohon yang menaungi kita. Ia berdiri di tanah yang kering menopang dahan dedaunan, dan melindungi siapapun di bawahnya dari sengatan panas terik matahari. Ia tidak mempedulikan maksud dan apa saja yang dikerjakan di sekitarnya. Ia tidak pilih kasih kepada siapa pun. Ia tidak hanya menaungi orang baik tetapi juga orang jahat. Dan juga tidak mungkin memperlebar ranting dan mengibaskan daunnya kepada yang baik agar merasa nyaman dan betah berlama-lama di bawahnya, dan juga tidak melipat ranting dan menggugurkan daunnya kepada yang jahat agar cepat meninggalkannya. Misalnya engkau menebang samping kanan-kiri ranting dahannya, ia tidak akan membencimu. Ia justru berterimakasih kepadamu karena telah membantunya menjadi pohon yang lebih tinggi dan besar, dan juga akan memberimu buah-buahan yang jauh lebih melimpah. Ia tidak mengharapkan apa pun darimu, kecuali cintamu.”

Aku mulai terbius oleh kata-kata yang dikeluarkan dari mulutnya dan segera mengosongkan pikiranku yang dipenuhi oleh kekacauan dan kecemasan.

Ia melanjutkan, “Orang baik adalah pohon yang selalu menerima segala bentuk tindakan dari makhluk hidup lainnya. Seandainya engkau menyiraminya dengan air yang segar dari sumur di waktu musim panas, ia akan memberimu buah-buahan yang nikmat untuk dimakan. Dan misalnya engkau mengencinginya dengan air senimu yang kuning pekat, ia tetap memberimu buah-buahan yang sama seperti engkau menyirami dari air sumur itu. Ia dengan senang hati menerima segala bentuk perlakuanmu. ”

Aku mengubah posisi dudukku dan menyangga kepalaku dengan jari jemari mendengar lebih jauh penjelasan orang ini. Dari penampilannya ia bukan lulusan akademisi, tetapi isi dan cara ia menyampaikan melebihi dari siapa pun yang pernah aku temui. “Tapi bagaimana dengan daunnya yang kering mengotori halaman rumah orang-orang?”

“Kamu masih belum mengerti. Ia menggugurkan daun dan mungkin beberapa buahnya yang busuk untuk kebaikannya dan kebaikanmu juga pastinya. Daunnya akan hancur dan menyatu dengan tanah guna kelangsungan hidupnya, dan tentunya untuk memenuhi kebutuhan nutrisimu. Kamu tidak perlu membeli pupuk yang semakin hari tidak menentu harganya yang tercampur bahan yang membahayakan ciptaan Tuhan. Cukup kamu berikan sentuhan kasih sayangmu padanya. Perlakukanlah ia seperti kamu memperlakukan dirimu sendiri. Jangan engkau rusak batang dan akarnya. Sebab ia tidak akan mengganggumu. Justru ia akan memberimu manfaat yang jauh melebihi apa pun yang kamu ketahui. Dan bahkan engkau pun tidak pernah menyiraminya, ia tetap memberimu keteduhan. Ia memberimu tanpa perlu kamu memintanya terlebih dahulu.” Ia berhenti sejenak dipertengahan bicara kemudian menghela napas.

“Ia menjadi rumah untuk semua makhluk Tuhan tak terkecuali dirimu. Mungkin kamu masih menganggap ia mengotori halaman rumahmu, tapi bagaimanapun kebaikannya jauh melampaui kebaikanmu selama ini. Lihatlah rimbun daun yang menjadi rumah beragam serangga, atau buahnya yang kadang disantap binatang liar yang kelaparan di tengah gelapnya malam, atau rantingnya menjadi penopang rumah induk burung untuk merawat anak-anaknya agar menjadi burung perkasa di luasnya angkasa, dan batangnya kerap dijadikan pilar penyangga rumah anak manusia yang menjadi harapan orang tuanya. Kalaupun engkau menebangnya, Ia akan menjadi pohon yang baru dan memberimu kebaikan yang baru pula.”

Lamat-lamat aku memperhatikan orang ini dan semakin terkesan kepada arah pembicaraannya. “Apa yang tidak boleh aku lakukan kepada orang baik?”

Ia menjawab, “Kamu boleh memperlakukan semaumu. Kamu boleh mengambil semua buahnya tanpa tersisa, atau memangkas rimbunan daunnya, atau bahkan kamu boleh menebang batangnya. Tapi satu hal yang harus kamu ketahui, kamu tidak boleh dan jangan sampai mencabut akarnya dari tanahnya. sebab jika pohon itu telah pergi bahkan mungkin tidak pernah kembali, kamu pasti akan merindukan segala kebaikannya, yang entah di masa yang akan datang kamu baru memahaminya.”

Aku terdiam tak berkedip mendengarkan kalimat demi kalimat yang ia lontarkan seolah-olah menampar wajahku.

Ia melanjutkan, “Apa yang aku bicarakan kepadamu adalah sedikit dari kebaikan yang kita ketahui. Masih banyak kebaikan yang perlu kita ketahui dan tak terlupa, kita taburkan benih-benih kebaikan ke seluruh alam semesta. Berbuatlah baik kepada siapa pun termasuk orang-orang yang membencimu.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Kalah

Ketika peluit ditiup aku selalu ragu, engkau akan membawa angka atau justru dibikin malu. Entah di kandang atau sebagai tamu. Aku sendiri selalu khawatir ketika bola di muka gawang. Mungkin saja blunder atau sekadar hoki. Berharap bola segera keluar dari area pertahanan. Semakin kencang dada ini berdebar. Disepak jauh beruntung berbuah angka, jika sebaliknya menembus batas akhir menampar jala, ritus-ritus kolega menaruh kedua tangan di atas kepala memasang waajah kecewa.

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...