Seorang Jepara datang kepadaku dengan raut muka tersenyum ketika aku duduk dan bersandar di bawah pohon mangga di atas rerumputan hijau yang telah kering dari embun pagi. Dengan pakaian lusuh tanpa alas kaki, tetapi tidak tercium bau apak sama sekali. Aku heran padanya. Tiba-tiba duduk di sampingku dengan percaya diri tanpa menunggu kupersilakan terlebih dahulu. Tanpa memperkenalkan nama dan asal muasalnya. Tapi dari cara bicara, dialek dan logatnya, aku pastikan ia dari Jepara. Ia mulai berbicara panjang lebar mengenai keresahanku pada kehidupan yang belum pernah aku bicarakan kepada orang-orang. Aku mengajukan pertanyaan mendasar tentang kebaikan. “Apa yang kamu ketahui tentang kebaikan?” Tanpa berpikir lama ia menjawab, ”Kebaikan itu seperti pohon yang menaungi kita. Ia berdiri di tanah yang kering menopang dahan dedaunan, dan melindungi siapapun di bawahnya dari sengatan panas terik matahari. Ia tidak mempedulikan maksud dan apa saja yang dikerjakan di sekitarnya. Ia tidak ...
Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...