Seperti
kebanyakan anak laki-laki dari Jepara pada umumnya yang bercita-cita ingin
menjadi pemain sepak bola untuk Persijap Jepara, namun jalan hidup berkata
lain. Saya bahkan tidak pernah mengikuti kompetisi sepak bola resmi manapun, dan
saya pun bersyukur, menjadi pesepakbola di Indonesia tidaklah sejahtera seperti
di liga-liga eropa. Apalagi untuk Persijap Jepara, tim yang beberapa tahun
terakhir terseok-seok setelah turun dari super liga. Dari finansial sampai
pembibitan. Saya tidak tahu apakah di klub ini ada semacam tim pencari bakat
yang memiliki kecerdasan visioner dalam melihat bakat-bakat potensial anak-anak
Jepara.
Ketika saya
membaca beberapa artikel yang beredar gratis di dunia maya, saya terkesan
dengan dua tim dari eropa, Athletic Club Bilbao dan Sankt Pauli. Terpampang
rapi di laman resmi Bilbao, Every single
one of Athletic Club's players was either born in the Basque Country or brought
up here. Saya terkejut dengan kalimat itu. Seolah-olah ketidakmungkinan di tengah sepak bola modern yang sarat kekuatan finansial dan pembelian pemain puluhan juta euro.
Persijap
memang bukan tim kaya layaknya Real madrid, mengagumkan seperti Barcelona, kuat
seperti Bayern Munchen atau memiliki masa depan cerah layaknya Manchester City.
Tapi dari dua tim ini (Bilbao dan Sankt Pauli) saya rasa bisa menjadi
alternatif dan wujud ideal untuk dijadikan role
models kombinasi tim semenjana seperti Persijap Jepara. Klub sepak bola
yang diisi oleh jajaran penduduk asli semenanjung muria.
Seperti
Athletic Bilbao yang mewajibkan perekrutan pemainnya berasal dari keturunan
Basque sejak 1912, sebuah etnik atau wilayah yang terbentang dari Spanyol
bagian timur laut sampai Prancis bagian barat daya. Dengan filosofinya With home-grown talent and local support,
there's no need for imports. Menjaga kemurnian darah warisan. Bukan
semata-mata demi kemenangan dan juara, tapi orisinalitas itu yang lebih
penting. Ini bukan diskriminasi melainkan lebih kepada eksklusivitas sebuah
klub. Sesuatu yang unik dan bisa dibanggakan. Ini demi mewujudkan impian
talenta lokal: menjadi pemain sepak bola dan mendapat tempat di tim utama.
Dengan semakin sering memainkan talenta muda, maka mereka akan mendapatkan jam
terbang yang tinggi. Dan yang unik dari bilbao adalah mereka tidak pernah
memiliki krisis keuangan yang sering menimpa klub-klub liga indonesia pada
umumnya karena hasil dari penjualan pemain. Lihatlah nama-nama tangguh seperti
Aymeric Laporte, Unai Nunez, Javi Martinez, Fernando Llorente, Ander Herrera,
Kepa Arrizabalaga, dan masih banyak lagi pemain berkelas dari prinsip kemurnian
darah tanah Basque. Dan yang paling menguntungkan dari nama-nama top tadi
adalah pemasukan pundi-pundi uang yang tak sedikit dari jendela transfer pemain
untuk mengoperasikan kembali finansial Bilbao dan menghasilkan bibit-bibit muda
berbakat. Hal seperti itu akan terus lanjut dan berjalan karena di samping
menguntungkan tetapi juga tetap berprinsip. Walaupun resiko kekalahan, hampir
terdegradasi, minim prestasi, tetapi menjaga prinsip walau terasa pahit lebih
baik daripada berglamor pemain bintang dan trofi tapi menjual diri. Seperti
itulah sepak bola. Poin tiga dan piala hanyalah bonus dari pertandingan bukan
tujuan, melainkan idealisme itu sendiri. Kalaupun menanggalkan tradisi untuk
mendongkrak prestasi, itu bukanlah jaminan. Lihat saja tetangga mereka Real
Sociedad yang dulu memiliki prinsip seperti Bilbao sampai 1989, tetapi nasib
tetaplah nasib. Alih-alih ingin berprestasi, bahkan Sociedad pun pernah terdegradasi
dan mengalami krisis finansial, tetapi lihatlah Bilbao yang selalu ada di La
liga (tanpa pernah tersungkur ke Segunda) dengan melahirkan talenta dari tanah
Basque yang kadang kala merepotkan tim-tim teratas La liga. Orang-orang di
dalam manajemen Bilbao menganggap bahwa ini adalah bisnis keluarga. Mungkin
mereka hampir meninggalkan prinsip dan tradisi demi menyelamatkan sebuah klub,
tetapi martabat dan harga diri selalu menjadi tolok ukur utama. Saya sampai
heran bagaimana mungkin Jepara dengan satu juta lebih penduduk tidak ada
sebelas pemain pun yang memiliki kecakapan untuk memainkan sepak bola
profesional. Apakah tidak adanya pembinaan pemain muda atau kurang percaya dari
pihak internal kepada anak-anak jepara? Atau alasan ini-itu yang kerap
membosankan telinga kita?
Kalaupun
filosofi Bilbao terasa sulit diimplentasikan masih ada klub sepak bola
profesional dari Jerman, Sankt Pauli. Bukan ideologi kiri atau keberpihakan
politik yang saya ambil melainkan bagaimana klub tersebut dihidupi oleh ribuan
penggemarnya dari penjualan merchandise yang
dikelola oleh pihak ketiga dan menghemat biaya pembelian pemain yang mentereng
dengan mempercayakan kepada pemain lokal dan muda yang tidak wajib dari kota Hamburg.
Bukan tiba-tiba menjadi tim yang berdikari, ia pernah bangkrut ditinggal para
pemain dan tidak menyisakan uang sepeser pun, dan hampir-hampir saja Sankt
Pauli dijual ke investor yang entah memperbaiki atau malah justru akan merusaknya.
Mudah saja bagi orang-orang internal untuk menyerahkannya, tetapi pastilah
kemarahan dari penggemar akan menyeruak tidak keruan di mana-mana. Petinggi
klub mengajak perwakilan penggemar Sankt Pauli untuk menemukan jalan keluar
penyelesaian. Sankt Pauli, di samping idealismenya yang anti-rasis, anti-fasis,
anti-sexisme, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai anti-komersialisasi sepak
bola. Klub sepak bola bukan perusahaan profitable
yang semena-mena menghisap keuangan penggemarnya, bukan hanya poin tiga, juara,
dan naik kasta, tetapi entitas tentang realitas yang mewakili martabat hidup
para penggemarnya. Saya percaya suatu saat nanti Persijap akan memulai dua hal
yang membuat Sankt Pauli keluar dari jurang kebangkrutan dan tetap bertahan
menjadi klub sepak bola yang berprinsip namun mengikuti perkembangan zaman. Dan
saya pun masih menantikan Persijap Jepara yang diperkuat oleh orang-orang
Jepara sendiri.
Komentar
Posting Komentar