Langsung ke konten utama

Menyambung rantai putus 77 tahun lalu

Negara ini sudah berdiri selama 77 tahun dan tidak ada perbaikan yang mencolok dari masa ke masa. Kemiskinan masih merebak di mana-mana. Bagaimana mungkin negara sekaya dan seluas ini masih ada jutaan manusia yang masih kelaparan. Di tanah ini semuanya ada. Apa yang negara lain tidak punya, negara ini memiliki hingga melimpah ruah. Orang-orang dalam pemerintahan bukannya tidak mampu, tetapi sengaja membiarkan rakyatnya terseok-seok dalam kejamnya pemiskinan. Berkomplot dengan internasionalis. Memang seribu patriot masih kalah dari seorang pengkhianat yang hanya terbuai untuk memenuhi kerakusan dirinya.

     Berbagai sistem dan ideologi pernah dicoba, tetapi nihil hasilnya. Entah itu sosialisme, kapitalisme, liberalisme, dan isme-isme lainnya. Pancasila hanyalah tinggal namanya saja. Mungkin tinggal gambar burung garuda yang terpampang di dinding ruang-ruang publik. Tidak ada implementasi sama sekali. Pancasila hanyalah lima pasal yang selalu menjadi hafalan dan tameng untuk mempertahankan kekuasaan. Kalaupun ada perbaikan itu bukan murni bentuk pengabdian kepada ibu pertiwi melainkan prestasi pribadi yang perlu ditunjukkan kepada lawan politik.

     Saya percaya negara ini semakin lama semakin hancur, tidak seperti yang digaungkan oleh media-media tentang “Indonesia emas” 2045. Omong kosong belaka. Dari awal tujuan dan caranya pun sudah salah. Tujuannya materialisme, caranya sekulerisme. Tuhan pasti murka. Semuanya tidak bisa diukur menggunakan kuantitas harta benda. Semakin beruang semakin senang. Dasar hedonis pengejar kekayaan maya. Bukankah kesenangan di dunia ini hanyalah tipu daya belaka dan agama sebagai benteng agar manusia tidak terseret dalam arus celaka? Kemudian hubungan dengan Tuhan itulah yang paling penting. Bagaimana caranya agar apa yang manusia lakukan di dunia ini tidak sampai membuat-Nya marah. Syukur-syukur mendapat ridho dan ampunan-Nya.

      Lalu siapa yang berhak disalahkan dan siapa yang bisa menyelamatkan sekian ratus juta manusia di atas tanah ini?

     Mari kita tengok 77 tahun lalu tepatnya tanggal 17 Agustus. Momen krusial apa yang mengubah wajah bumi pertiwi hingga menderita sekian lama? Banyak sekali perubahan yang terjadi tetapi yang paling penting adalah mengubah bentuk kenegaraan ini, republik. Bagaimana mungkin barang baru dari eropa dan tidak cocok dengan kepribadian bangsa dipaksa diterapkan? Belum lagi dengan sistem politik yang bernama demokrasi. Tambah tidak keruan masalahnya. Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia itu bagi saya sangat rancu atau kontradiktif dengan kenyataan. Negara itu apa? Mengapa perlu kesatuan? Republik itu bagaimana? Kenapa memakai indonesia bukan nusantara?

    Jika negara memiliki batas-batas wilayah agar rakyat yang ada didalamnya merasa aman dari gangguan luar, mengapa pemerintah mengizinkan pasar bebas dan globalisasi masuk? Lalu pasar bebas dengan bebasnya mengoyak perekonomian dan globalisasi menciderai kebudayaan sendiri. Itukan sama saja batas-batas tadi tidak ada fungsinya. Negara dibentuk agar rakyat yang ada di dalamnya bisa hidup enak dengan memanfaatkan potensi dari tanah dan airnya tadi, bekerja dengan khidmat tanpa merasa ada ancaman dan persaingan dari orang asing, kemudian rakyat membayar outsourcing yang dikontrak selama lima tahun sekali yang dikenal sebagai pemerintah. Jadi secara bahasa kasarnya pemerintah adalah karyawan, asisten, atau pembantu dari perusahan yang bernama negara, dan rakyat adalah bos atau majikannya. Itu berarti tidak patut pembantu tadi mendapat gaji yang melebihi majikan atau rakyat tadi. Apalagi sampai berbuat semena-mena kepada rakyat, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pemaksaan, pembatasan, dan tindakan yang tidak tahu diri lainnya.

      Tidak pantas seorang pembantu meminta diperlakukan layaknya majikan. Kurang ajar itu namanya. Jika negara memiliki batas maka diperlukan penjaga, dan siapa mereka? Tentu saja polisi dan tentara. Jika pemerintahan, termasuk presiden, wakil, menteri, dan anggota legislatif, yudikatif, dan eksekutif lainnya adalah pembantu, maka polisi dan tentara adalah satpam dari rumah yang bernama negara tadi. Sekali lagi, tidak pantas seorang satpam membentak atau berperilaku kejam kepada majikannya. Kalaupun masih ingin mengeluarkan energi yang berlebihan itu hendaknya ditujukan kepada pihak-pihak kolonialis dan imperialis, atau kepada pengkhianat dan penjahat negara. Bukan malah pura-pura tidak tahu karena takut dilepas jabatan dan gajinya. Memang ada kesalahan dalam hierarki pembagian tugas pengelolaan negara, bahwa angkatan bersenjata berada dibawah perintah pelaku trias politica. Apa pun yang diminta oleh instansi pemerintah, baik benar maupun salah, akan dituruti dengan segenap kepatuhan. Dalam kata lain, angkatan bersenjata adalah “alat pemerintahan”. Baik dan buruk alat itu tergantung siapa yang menggerakkan.

       Istilah kesatuan dalam konsep NKRI memang mengecoh satu negara. Apa yang perlu disatukan dari corak keberagaman dari ujung barat sampai timur ini? Cita-cita kesukuan, tujuan hidup, atau cara berpenampilan? Bukankah Tuhan menciptakan manusia ini berbeda-beda agar mereka saling mengenal? Lalu jika semuanya dibikin satu dan sama, lalu untuk apa saling mengenal?

       Seperti yang tertulis di paragraf sebelumnya bahwa republik adalah barang baru, ia bukan hasil dari saripati pemikiran manusia indonesia. Padahal jauh sebelum negara ini berdiri sudah ada beberapa bentuk wilayah yang sudah melanglang buana ke penjuru dunia dengan kemasyhuran dan kemakmurannya. Ratusan kerajaan tersebar tanpa pertikaian di seantero nusantara. Hidup berdampingan rukun. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Tapi karena terhasut dan diiming-imingi kemajuan yang semu, para pewaris negeri tertipu dan tidak percaya diri untuk melanjutkan bentuk negara yang sudah jelas-jelas terbukti kejayaannya. Bukankah mereka secara tidak langsung telah memutus rantai sejarah? Mereka menggunakan sistem demokrasi yang konyol dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin suara yang lebih banyak adalah pemenangnya? Bagaimana jika yang lebih banyak itu adalah suara yang salah dan akan memimpin negeri yang seluas dan sekaya ini? Bagaimana jika para penjahat berkoalisi agar mendapat suara terbanyak untuk memuluskan rencana yang di masa yang akan datang nanti mengakibatkan kehancuran? Apakah itu berarti orang jahat memilih orang jahat agar kejahatannya tidak terungkap? Saya tahu maksud baik dari demokrasi bahwa semua orang mendapat hak dan kedudukan yang sama untuk menciptakan pemerintahan yang ideal, tetapi mereka melupakan bahwa kebutuhan tiap-tiap manusia itu berbeda. Tidak semua ingin mempelajari politik, ekonomi, sosiologi, hukum, antropologi, filsafat, agama, dan sastra. Kalaupun mereka ingin, tetap saja disibukkan oleh rutinitas bekerja dari pagi sampai malam dan tidak sempat mempelajari secara komprehensif dan holistik.

     Biarlah kekuasaan itu diserahkan dan dikelola oleh anggota keluarga, dan rakyat tidak perlu ikut mencampuri urusannya. Biarlah rakyat tetap hidup rukun dengan tetangga dan saudaranya tanpa dipecah belah dan dikotak-kotakkan pilihan politik. Demokrasi ini memang kontradiktif, demos adalah rakyat dan kratos adalah kekuasaan, apalagi dengan jargon “suara rakyat adalah suara tuhan”. Perlu pembaca ketahui bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan mutlak atas dirinya sendiri. Manusia tidak punya saham selembar pun dalam tubuhnya. Kalaupun ada itu pun hanya sebatas titipan untuk merawat tubuhnya. Yang memiliki kekuasaan mutlak adalah Tuhan semesta alam, manusia sekadar penerima perintah dan menjalankan sekuat tenaganya.

    Nama indonesia saja bukan orang indonesia asli yang menamainya. Banyak sumber yang mengatakan dari Inggris, Jerman, dan Norwegia. Tetapi yang saya soroti adalah selama 77 tahun ini kita tidak memiliki kedaulatan, tidak merdeka, masih bergantung pada pihak asing dari hal yang sekecil apa pun. Padahal pendahulu kita sudah menciptakan namanya sendiri, Nusantara. Seolah-olah nusantara itu nama yang kuno, sudah tidak relevan, dan perlu ditinggalkan. Memang benar ini hanyalah urusan nama, tetapi di mana letak rasa menghargai kepada pendahulu itu? Tetapi mau bagaimana lagi, sudah terlalu banyak orang kolot, bebal, kepala batu yang mengisi instansi lembaga pemerintahan. Percuma saja mau diberi tahu, dijelaskan dengan cara apa pun, mereka tidak akan paham.

       Saya sendiri terus terang, sampai kapan pun, tidak setuju dengan indonesia sebagai bentuk negara. Negara ini sudah gagal total dan percuma kalau dilanjutkan lagi, tetapi sebagai tanah air, saya sangat mencintainya. Lagi-lagi alasannya saya dipilih Tuhan untuk menjadi manusia indonesia. Saya dilahirkan, menghirup napas, makan dari hasil tanahnya, minum airnya, dan mungkin suatu saat nanti jasad saya bersatu dengan bumi indonesia. Jadi saya tidak berani untuk mendurhakai tanah ini. Semaksimal mungkin saya akan merawat, menjaga, dan mempertahankannya dari tangan-tangan tak berkemanusiaan. Walaupun kalau dipikir-pikir saya tidak punya kapasitas untuk melakukan semua itu, setidaknya saya tidak ikut merusak alam indonesia.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...