Langsung ke konten utama

Bermain di area yang sensitif itu menyenangkan

Sudah lama saya tidak menulis karena terbentur berbagai hal dan tidak tersedianya waktu yang cukup untuk menata kata-kata, serta yang paling penting adalah menanti datangnya intuisi yang sangat sulit diprediksi. Terkadang tersedia waktu yang cukup, tapi sialnya bersamaan dengan pikiran yang buntu. Saya sendiri terkadang merasa geram tidak keruan sebab tidak tahu cara menanganinya. Seperti yang saya kemukakan di tulisan yang sebelumnya bahwa tidak hanya perut yang perlu makanan, tetapi otak memerlukannya, dan membaca adalah makanan yang tepat untuk kesehatan otak saya. Namun saya melupakan satu hal bahwa memakan adalah input, sedangkan membuang air adalah output. Saya kira menulis adalah output yang tepat untuk kesehatan otak saya. Sampai saat ini saya belum menemukan cara yang lebih efektif daripada menulis.

     Saya terlalu sering membaca sampai lupa membuang air (menulis). Betapa nikmatnya membaca itu, saya seperti hidup di suatu zaman yang saya sendiri belum lahir dan mampu melintasi ke zaman yang lain, menjumpai berbagai tragedi, peperangan, perdebatan, dan polemik. Saya seperti diajak berbincang dengan tokoh-tokoh fenomenal yang pernah mengisi jagad panggung kehidupan yang penuh tanda tanya ini. Seolah-olah mereka hadir di hadapan saya, apalagi ketika hujan tiba dan saya terpaku duduk memegangi buku dan diselimuti hawa dingin yang mampu meredam isi kepala saya yang kering kerontang memahami isi bacaan yang sulit dimengerti.

   Saya sendiri amat menyesal telah menghiraukan buku ketika masih di sekolah. Setiap hari saya dicekoki buku bacaan yang isinya adalah tidak saya perlukan sampai saat ini. Saya melewatkan satu jenis buku yang seharusnya layak untuk saya baca sejak belia, buku-buku yang diterbitkan oleh pihak-pihak independen, atau apa pun buku itu asalkan bukan terbitan atau rekomendasi dari pemerintah

     Yang aneh dari saya sampai detik ini adalah mengapa saya tidak tertarik membaca buku arahan dosen dan sekali pun saya baca, saya merasa terpaksa dan tidak bisa menikmati kata per kata, lalu kalimat per kalimat seperti saya membaca buku-buku independen.

     Saya terlalu asyik membaca sampai lupa untuk menulis, dan di sela waktu yang cukup ini saya diberi kesempatan untuk membuang hal-hal yang berlompatan ke sana kemari di dalam isi kepala saya yang kerap mengganggu. Seharusnya masih banyak yang perlu saya tulis, tapi jauh lebih banyak lagi buku yang harus saya baca. Saya khawatir bahwa saya hanya memahami satu topik secara setengah-setengah dan lebih parahnya lagi saya langsung menghakimi dari terminologinya saja. Dengan bertambahnya buku yang saya baca, apalagi kebanyakan buku yang saya baca adalah buku yang bertentangan dengan pemikiran saya, membuat saya untuk memikirkan kembali pemikiran yang sudah saya konsep sejak di bangku sekolah. Mengapa saya melakukan itu? Sebab menurut saya bermain di area yang sensitif itu menyenangkan. Seperti isu agama, politik, dan idealisme adalah hal yang sensitif untuk diperbincangkan karena menyangkut keyakinan dan martabat seseorang, dan dari situlah saya bisa bermain logika untuk perkembangan akal pikiran saya. Memang perlu untuk mengamati satu permasalahan dari berbagai sudut pandang. Dibutuhkan suatu perbandingan yang komprehensif untuk menentukan arah keberpihakan. Menentukan satu jawaban tanpa melihat dari berbagai sisi hanya akan menimbukan kehancuran.

     Saya dulu sangat membenci ideologi kiri, komunisme, marxisme, maoisme, dan isme-isme lainnya, tapi setelah saya membaca entah itu esai atau biografinya, saya mampu memahami mengapa ideologi itu diciptakan dan memiliki jutaan manusia dibelakangnya. Saya menyadari kenapa mereka rela mati-matian demi mempertahankan ideologi tersebut, tetapi ini bukan berarti saya menjadi bagian dari mereka, sebab sampai kapan pun saya tidak akan menganut isme-isme manapun, termasuk islamisme. Karena islam sudah meliputi ajaran, ideologi, sistem, cara hidup, dan keyakinan. Menambahkan frasa isme ke dalam islam adalah suatu pemborosan kata. Bukankah Tuhan membeci hambanya yang boros?

    Saya berusaha menemukan sintesa dari berbagai ideologi di dunia ini, agar kebencian dan peperangan tidak terulang kembali. Maka dari itu perlu banyak buku, mungkin sampai puluhan ribu, yang harus saya baca agar saya mampu mengerti dan memahami isi kepala dan hati mereka, tapi sayangnya saya terbentur dua hal. Pertama, apakah sisa waktu hidup saya cukup untuk menghabiskan buku sebanyak itu? Sampai sejauh ini saya masih berkeyakinan bahwa kematian jauh lebih dekat di depan saya daripada hal apapun, maka dari itu saya sangat berhati-hati dalam menentukan sikap dan keberpihakan saya, sebab hari penghakiman itu benar adanya. Saya takut sekali jika dimintai pertanggungjawaban saya selama hidup. Karena Tuhan Yang Mahaadil adalah hakim yang sebenarnya.  Kedua, apakah pemerintah berani mencabut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966  yang dikhawatirkan membangkitkan kembali Partai Komunis Indonesia itu?  Saya memakai analogi yang sederhana, saya dari kecil sering dan suka menonton film vampir cina. Jangankan menjadi vampir, menjadi cina pun tidak. Semua itu tergantung niat dan cara penanganannya. Seperti yang Gus Dur katakan bahwa membaca buku-buku kiri seperti Das Kapital itu perlu dilakukan, tetapi jangan melupakan untuk membaca karyanya Adam Smith dan David Ricardo, agar pikiran kita seimbang. Buku ini bisa diambil semangat perlawanannya untuk kapitalisme. Kita boleh membenci PKI tapi jangan melupakan referensinya, bagaimanapun itu adalah sumber ilmu pengetahuan untuk kehidupan yang lebih baik. Kalaupun ada kekurangannya itu pastilah ada dan tugas generasi selanjutnya adalah memperbaikinya.

    “Saya memang sangat penasaran dengan buku-buku yang kontroversial. Suatu saat nanti saya harus  membacanya.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...