Langsung ke konten utama

Persijap sepanjang usia

Menjelang ulang tahun Persijap Jepara yang ke-68 ini, saya ingin menyampaikan janji dan kekecewaan saya dalam mendukung klub ini. Bukan karena hasil atau raihan trofi.

     Beberapa tahun saya mengikuti, beberapa tahun saya berhenti, beberapa tahun pula saya kembali. Bukan sebagai penggemar yang duduk sambil menikmati pertandingan, melainkan menjadi penggemar yang bersorak dan ada satu harapan memperbaiki ekosistem manusia Jepara. Tujuh tahun lalu harapan itu muncul, kemudian beberapa tahun setelah itu, hancur. Saya tidak tahu apakah masih bisa diperbaiki atau tidak. Kalaupun masih bisa perlu gerakan yang masif dan lompatan yang jauh ke depan untuk memperbaikinya.

     Saya tidak bermaksud menjadi penggemar paling setia apalagi intelektual di antara ribuan penggemar lainnya. Saya hanya seorang penggemar yang ingin mengabadikan Persijap Jepara 1954 dalam dasar hati saya dan tidak ada klub sepak bola lain yang berhak menggantikan kedudukannya. Cukup sulit memang menjadikan Persijap sebagai satu-satunya entitas yang terpatri dalam hidup saya. Banyak rayuan yang menghampiri, banyak stigma orang-orang bahwa saya mungkin beralih mendukung klub sepak bola lain. Perlu saya tekankan, TIDAK MUNGKIN! Persijap sudah menjadi bagian dari hidup saya yang akan terus saya gemari sepanjang usia saya. Menggantikan Persijap itu berarti sama saja mengganti kehidupan saya yang telah saya bangun sejak belia. Saya menganggap Persijap ini representasi saya dalam bentuk yang lain. Karena banyak kemiripan lika-liku sepak terjangnya. Banyak kegagalan dan sedikit keberhasilan. Tak jarang ketika ia terperosok saya memakluminya. Karena langsung saja saya teringat banyak kegagalan dalam hidup saya. Jika saya mencibir itu sama saja saya mencibir diri saya sendiri.

     Memang banyak ketidakjelasan alasan dalam mencintai klub ini, tapi namanya juga cinta, tidak perlu perkataan tetapi pengamalan. Semakin banyak kata yang dijelaskan semakin terlihat omong kosongnya. Karena energi yang seharusnya digunakan untuk mengimplentasikan pokok ide pikiran telah terbuang sia-sia karena terlalu banyak untuk berkoar-koar, terlalu banyak aksi di dunia maya sampai tidak sempat menuangkannya dalam kehidupan nyata.

      Saya sebenarnya iri hati dengan orang-orang yang telah menjadikan Persijap sebagai satu-satunya klub sepak bola sampai di penghujung usianya. Bagaimana cara mereka melakukannya dan apa alasan untuk meyakinkan pasangan mereka? Karena dalam sepak bola semua hal bisa terjadi begitu saja. Datang sebagai kawan, pulang menjadi lawan. Berbagai pertempuran bisa terjadi hanya karena kesalahpahaman. Bahkan nyawa pun bisa hilang seketika. Saya pun terkadang hampir menyerah menjadi penggemar klub sepak bola. Masa depan saya bisa saja akan gelap gulita karena kerusuhan dalam sepak bola. Kenapa kita sebagai penggemar sepak bola harus mengalami penderitaan yang begitu parahnya? Bukankah sepak bola sebagai alat persatuan? Bukankah mendukung dengan rasa persaudaraan itu menyenangkan? Apakah penggemar sepak bola memang harus saling menyakiti hanya demi asumsi subyektif keunggulan masing-masing klub? Tidak ada cara lainkah agar kehidupan sepak bola menjadi lebih baik agar kita sama-sama menggemarinya sampai tua? Tidak inginkah kita menciptakan ekosistem sepak bola yang baik? Tidakkah kita ingin mewarisi rasa persaudaraan dan kenyamanan ketika mendukung kepada generasi yang akan datang?

     “Saya hanya ingin mencintai klub ini sepanjang usia tanpa harus memusuhi penggemar klub lain.”

   Apakah ada pengecualian dari pernyataan saya? Tentu saja ada, bila mendukung Persijap justru merusak kesehatan dan mengancam nyawa saya. Tetapi satu hal yang pembaca  perlu tahu, walaupun suatu saat nanti saya tidak lagi bersama kawan-kawan, tetapi bagaimana pun Persijap akan selalu di hati dan pikiran saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...