Langsung ke konten utama

Sedikit dari problematika pendidikan zaman modern

     Semester awal telah kulalui dengan segala kekhawatiran dan kegelisahan. Jujur saja saya agak terkejut dengan sistem pembelajaran dalam jaringan di mana dosen tidak begitu jelas mengajarkan sebuah materi dan terlalu sering memberikan tugas dengan jangka waktu yang singkat, maksimal satu minggu walaupun ada beberapa tugas yang diberi durasi pengerjaan lebih dari satu bulan seperti tugas membuat makalah. Saya sendiri agak gagap dengan kecanggihan teknologi khususnya dalam Microsoft word dan Power point. Anehnya saya mengerjakan bukan menggunakan laptop atau komputer melainkan telepon genggam. Dari SMP sampai sekarang saya sangat asing dengan serba-serbi komputer, padahal waktu di SMP saya mendapat jam tambahan untuk pelatihan komputer sehabis jam pelajaran selesai, dan itu berbentrokan dengan jam Madrasah saya. Itu berarti saya harus memilih salah satu dari kedua pilihan tersebut. Orang tua menyerahkan pilihan tersebut pada saya. Sempat saya berpikir bahwa kedua hal tersebut tidak berguna bagi saya. Saya sangat malas dan takut dengan kecanggihan komputer, karena saya percaya suatu saat nanti, tidak hanya komputer saja, kecanggihan teknologi akan menggantikan peran manusia di bumi. Orang tidak lagi menggunakan semua daya intelektual dan psikomotoriknya untuk mengelola sesuatu melainkan akan dikerjakan oleh teknologi. Begitu banyak dampak negatif dari komputer yang jauh lebih berbahaya dari kebanyakan orang pikir. Memang benar kecanggihan teknologi membantu pekerjaan manusia tetapi saya sebagai orang yang memikirkan efek jangka panjang, hampir jauh dari kecanggihan teknologi.

    Sehingga teman saya pun sempat heran, “Kamu ini lulusan SMP favorit tetapi di luar dugaan, kamu sangat gagap teknologi.”

    Saya pun menjawab dengan bibir meringis agak malu, “Saya dulu sering tidak mengikuti pelatihan, karena malas saja."

    “Bagaimana dengan tugas yang berhubungan dengan komputer, seperti membuat makalah, mencari materi di internet, lalu mencetaknya?”

    “Saya dulu punya teman yang dengan kemurahan hatinya membantuku mengerjakan tugas, dan itu pun tidak seorang saja. Setiap naik tingkatan saya selalu memiliki teman semacam itu.” Kata saya, “Betapa beruntungnya saya." Sampai sekarang saya masih ingat teman-teman itu. Kalau diingat-ingat saya merindukan mereka seolah-olah ingin kembali ke masa lampau. Di mana mereka dan sudah jadi apa sekarang. Waktu begitu cepat berganti dan dunia begitu mudah berubah.

    Kalau untuk madrasah, saya merasa tidak cocok dengan sistem pembelajarannya. Saya sangat membenci jika disuruh menghafal, karena menurut saya hafalan ini yang membunuh kreatifitas saya. Hafalan itu kan seperti ini, kita di suruh mengingat persis seperti yang ada di teks beserta koma dan titiknya. Kalau salah sedikit saja itu berarti gagal hafalan kita, dan itu juga yang menurut saya kenapa ilmu pengetahuan tidak berkembang, tetapi saya tidak membenci para penghafal. Di madrasah itu saya seperti dalam tekanan. Sehabis pulang dari sekolah pagi tanpa istirahat untuk meletakkan punggung sebentar saja. Sudah lelah otak ditambah fisik juga. Jadi selama di madrasah itu saya hanya membuang waktu saja. Saya sendiri tidak ingat dengan rinci apa saja yang dipelajari waktu itu dan tidak ada sesuatu yang membuat saya tertarik dari madrasah, paling-paling juga hanya kenal beberapa teman yang sering mengobrol lalu tertawa terbahak-bahak. Setidaknya ada yang mengobati kejenuhan saya.

     Pernah suatu ketika saya meminta kepada bapak dan ibu untuk putus dari madrasah karena saya merasa tidak kuat dan bosan dengan hal yang itu-itu saja. Buat apa sih mempelajari kayak gituan? Yang terpentingkan bisa mengaji dan rajin sembahyang. Memangnya saya akan menjadi ahli agama? Bukan seperti itu, bapak dan ibu menyekolahkanmu di situ agar setidaknya kamu tahu agama dan tidak buta agama. Kemudian saya turuti saja kemauan mereka siapa tahu suatu saat berguna.

     Setelah melalui semester awal. Saya benar-benar terkejut waktu membuka kartu hasil studi di website portal kampus. Saya mendapat nilai di luar kemampuan saya, tiga koma tujuh. Bagaimana mungkin seorang yang tidak begitu cakap dan pas-pasan dalam mengerjakan tugas kuliah mendapat nilai sebanyak itu. Saya tidak yakin para dosen membuat nilai dengan jujur. Ini terlihat seperti manipulasi. Di semester ke dua pun saya mendapat nilai yang banyak juga, walaupun mengalami penurunan karena saya merasa kurang semangat dalam menempuh pembelajaran dalam satu semester. Saya paling tidak suka jika disuruh membuat video. Dasarnya saya ini seorang pemalu di depan kamera dan seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa saya ini gagap teknologi. Mengedit video saja saya tidak tahu caranya, jadi video yang saya unggah itu adalah video ala kadarnya tanpa melalui proses pengeditan yang begitu ciamik.

    Dan sialnya, saya mendapat banyak dosen yang sering meminta untuk membuat tugas video. Kesialan saya bertambah ketika seorang dosen yang gemar membuat konten di kanal youtube, jadi mekanisme penilaian mahasiswa itu dari seberapa bagus dan sering ia mengunggah video di kanal youtube. Ini mimpi buruk bagi saya, dan saya harap beliau pertama dan terakhir menjadi dosen saya. Saya sangat menghindari dosen yang menyuruh membuat video.

      Di semester ketiga saya mengalami kenaikan nilai dari semester kedua, tiga koma tujuh seperti di semester awal. Saya merasa dengan mendapat nilai segitu sudah termasuk berada di jajaran atas para mahasiswa terbaik, tetapi nyatanya tidak. Itu saya ketahui ketika sebuah percakapan bersama teman satu magang. Ada yang mendapat nilai tiga koma sembilan sekian. Terbesit dalam pikiranku apa yang ada di dalam isi kepala mereka. Saya kira mereka mahasiswa yang biasa-biasa saja dan malah melabeli saya mahasiswa terpandai. Padahal nilai saya jauh di bawah mereka. Ketika saya menyebutkan nominal angka nilai saya, mereka terkejut dengan yang saya dapatkan. Dipikirnya saya ini mendapat nilai mendekati sempurna, padahal tidak.

     Jujur saja dengan nilai yang yang saya dapat itu saya merasa terbebani karena saya merasa bahwa saya tidak pantas mendapat  nilai sebanyak itu dan juga terlalu berlebihan. Kalau saya disuruh menilai diri saya sendiri saya merasa mendapat nilai tiga koma tiga adalah lebih dari cukup. Saya takut dan khawatir jika suatu saat nanti ketika melamar perkerjaan atau ditanya seseorang kemudian mengetahui nilai akumulatif saya tidak berbanding lurus dengan kemampuan saya. Saya justru malu.

     Saya tahu dengan pengakuan dari saya ini akan mengubah persepsi mereka tentang saya dan saya pun tidak masalah. Malah saya justru merasa senang jika dicap sebagai yang terbodoh, karena di zaman modern ini kepintaran adalah kelicikan terselubung dan kebodohan adalah kebaikan yang diacuhkan. Dari awal saya tidak pernah merasa menjadi yang pintar apalagi yang terpintar. Karena saya tahu bahwa apa yang tidak saya ketahui itu jauh lebih banyak dari secuil yang saya ketahui. Tidak ada hak bagi saya untuk mengeklaim sebagai yang baik apalagi yang terbaik. Sampai saat ini saya merasa kurang baik dalam bersikap dan kurang lihai dalam bercakap.

    Tetapi yang menjadi pertanyaan saya adalah kenapa mahasiswa yang saya anggap cerdas justru mendapat nilai di bawah saya? Bagaimana mekanisme penilaian pendidikan sekarang? Apakah para pendidik kurang cermat dalam mengamati kemampuan siswanya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...