“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.
“Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin
aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.
Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton
pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku.
Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak
tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.
Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil
kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba
hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak
menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana
caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.
Kehidupanku di Pare dan di Kudus memiliki sedikit perbedaan.
Di Pare aku memasak sendiri makanan sehari-hari, tetapi di Kudus aku memilih
membeli makanan di warung sederhana belakang kampus yang setiap siangnya penuh
anak-anak kuliah yang sedang mengisi perut dengan berbagai macam sajian.
Pernah kudengar dari alumni dari sana ketika aku dan dia
mengobrol di angkringan di depan rumahnya. “Ada warung makan soto yang murah
sekali dengan harga lima ribu rupiah sudah termasuk es teh manis serta tiga
butir baso. Letaknya di belakang kampus dekat lapangan panahan.” Katanya kepadaku
ketika aku sedang menenggak jeruh hangat tanpa gula.
Selama di Kudus aku mencari keberadaan warung soto itu,
tetapi tidak pernah kutemui, jadi selama itu aku makan di dekat kosku yang
harganya tidak bersahabat dengan dompetku dan rasanya kurang enak pula. Ketika perkuliahan selesai aku
diajak seorang teman untuk berkumpul di warung belakang kampus. Aku jadi teringat
perkataan alumni tadi, dan ketika temanku membawaku ke warung itu telah
terduduk teman-teman di teras rumah yang sekaligus warung itu. Waktu itu aku
sudah makan siang sehingga hanya memesan es susu sambil mengobrol.
Sepanjang jalan menuju kos aku berpikir bahwa apakah warung
itu yang dimaksud alumni di malam itu? Kalau memang benar, terwujudlah
angan-anganku untuk menghemat uang saku. Keesokan harinya setelah perkuliahan
selesai aku sengaja menuju warung itu sendirian untuk menjawab tanda tanyaku.
Kulihat dari kejauhan warung itu agak sepi tidak seramai kemarin. Kuparkirkan
motorku di samping musala lalu berjalan menuju warung kecil dengan meja kayu terbungkus plastik tebal.
“Bu, soto dan es teh.” Pintaku dengan singkat sambil
menyimbolkan angka satu dari jari telunjuk tangan kanan.
“Di makan di sini nak?”
“Iya bu.”
“Tunggu sebentar ya.”
“Iya bu.”
Kemudian aku mencari tempat duduk yang belum diisi seorang
pun. Kira-kira tidak sampai lima menit seorang pelayan dengan bibir bergincu
merah berumur sekitar tiga puluhan membawakan semangkuk soto ayam dan segelas es teh
manis. Soto dengan tiga butir baso itu kutuangi kecap, sambal, dan perasan
jeruk nipis lalu kuaduk rata dan masih menguap hawa panas dari kuahnya. Sebentar
saja uap panas berwarna putih itu mulai memudar dan sepertinya menjadi hangat.
Kusuap sesendok nasi beserta kuah dan ayamnya itu ke mulutku. Enak sekali
ternyata. Pantas saja ramai oleh pengunjung. Setelah sepuluh menit menyantap
soto ayam itu, aku menenggak segelas es teh selama tiga kali. Aku yang terduduk sendiri sambil menunggu nasinya
turun, memikirkan berapa uang yang harus aku keluarkan apakah harga yang disebut alumni di malam itu masih berlaku. Tanpa berlama-lama, aku
menuju penjual yang seumuran nenek-nenek dengan badan cukup kurus namun masih
lincah dan giat menjual berbagai macam menu makanan dari pagi sampai sore. Apa
yang dikatakan alumni di malam itu memang benar adanya, hanya lima ribu rupiah. Di detik itu juga aku
memutuskan untuk berlangganan dua kali sehari. Bukan main memang. Di tengah kota industri ini masih ada warung yang menjual dengan harga yang membikin
dompetku tersenyum lebar.
Saben pagi dan siangnya aku ke sana walupun jaraknya cukup
jauh dari kosku. Tidak masalah. Yang terpenting adalah agar aku bisa menghemat
uang sakuku. Di paginya aku sarapan
dengan nasi pecel dan teh tawar. Lalu siangnya dengan soto dan teh tawar juga.
Pagi-pagi paling enak makan dengan yang banyak sayurnya karena sangat
berpengaruh bagi pencernaanku. Siang dengan terik matahari aku lebih suka
dengan santapan berkuah hangat nan segar.
Setelah aku tidak kuliah di Kudus aku merasa rindu dengan
masakan khas warung belakang kampus, jadi setiap kali aku bepergian ke Kudus,
aku selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi warung sederhana yang sangat
membantu keuanganku itu.
Bagaimana dengan makan malam? Tidak sengaja setelah selesai
ospek kuliah di sore hari, kami bertiga makan di salah satu warung makan di
depan kampus. Seorang wanita sekitar lima puluhan menjual berbagai macam
makanan di deretan kios di bawah pohon kersen. Kami mengambil sendiri nasi dan
lauknya. Aku memilih ikan lele goreng dan es teh. Setelah selesai apa yang ku
dapat adalah harga murah juga. Sembilan ribu rupiah. Aku katakan dalam hati, “Ini
adalah warung langgananku pada malam hari.” Tapi aku berniat untuk mencoba mencari menu makanan yang lebih murah, nasi telur balado, enam ribu rupiah. Entah sekarang harganya menjadi berapa. Lebih dari dua tahun aku tidak mengunjunginya lagi. Masihkah warung makan itu seperti dulu, yang tidak ramai tetapi dengan cita rasa yang enak dan harga paling murah setahuku dengan lauk seperti itu.
Uang sakuku sebulan adalah delapan ratus ribu rupiah dengan pembagian sebagai berikut: enam ratus ribu untuk kehidupan sehari-hariku dan dua
ratus lima puluh ribu untuk tabungan. Kira-kira uang itu cukup walaupun setiap
libur kuliah aku sering pulang agar lebih menghemat. Di samping itu juga aku rindu
rumah. Walaupun juga di Kudus itu aku tidak bisa sehemat seperti di Pare karena
harus mengeluarkan biaya untuk bensin motor dan mencetak tugas kuliah, tapi
setidaknya ada uang yang aku sisihkan untuk mengikuti Persijap berlaga.
Komentar
Posting Komentar