Langsung ke konten utama

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.

   “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.

     Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.

     Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.

     Kehidupanku di Pare dan di Kudus memiliki sedikit perbedaan. Di Pare aku memasak sendiri makanan sehari-hari, tetapi di Kudus aku memilih membeli makanan di warung sederhana belakang kampus yang setiap siangnya penuh anak-anak kuliah yang sedang mengisi perut dengan berbagai macam sajian.

     Pernah kudengar dari alumni dari sana ketika aku dan dia mengobrol di angkringan di depan rumahnya. “Ada warung makan soto yang murah sekali dengan harga lima ribu rupiah sudah termasuk es teh manis serta tiga butir baso. Letaknya di belakang kampus dekat lapangan panahan.” Katanya kepadaku ketika aku sedang menenggak jeruh hangat tanpa gula.

       Selama di Kudus aku mencari keberadaan warung soto itu, tetapi tidak pernah kutemui, jadi selama itu aku makan di dekat kosku yang harganya tidak bersahabat dengan dompetku dan rasanya kurang enak pula. Ketika perkuliahan selesai aku diajak seorang teman untuk berkumpul di warung belakang kampus. Aku jadi teringat perkataan alumni tadi, dan ketika temanku membawaku ke warung itu telah terduduk teman-teman di teras rumah yang sekaligus warung itu. Waktu itu aku sudah makan siang sehingga hanya memesan es susu sambil mengobrol.

      Sepanjang jalan menuju kos aku berpikir bahwa apakah warung itu yang dimaksud alumni di malam itu? Kalau memang benar, terwujudlah angan-anganku untuk menghemat uang saku. Keesokan harinya setelah perkuliahan selesai aku sengaja menuju warung itu sendirian untuk menjawab tanda tanyaku. Kulihat dari kejauhan warung itu agak sepi tidak seramai kemarin. Kuparkirkan motorku di samping musala lalu berjalan menuju warung kecil dengan meja kayu terbungkus plastik tebal. 

    “Bu, soto dan es teh.” Pintaku dengan singkat sambil menyimbolkan angka satu dari jari telunjuk tangan kanan.

     “Di makan di sini nak?”

     “Iya bu.”

     “Tunggu sebentar ya.”

      “Iya bu.”

     Kemudian aku mencari tempat duduk yang belum diisi seorang pun. Kira-kira tidak sampai lima menit seorang pelayan dengan bibir bergincu merah berumur sekitar tiga puluhan membawakan semangkuk soto ayam dan segelas es teh manis. Soto dengan tiga butir baso itu kutuangi kecap, sambal, dan perasan jeruk nipis lalu kuaduk rata dan masih menguap hawa panas dari kuahnya. Sebentar saja uap panas berwarna putih itu mulai memudar dan sepertinya menjadi hangat. Kusuap sesendok nasi beserta kuah dan ayamnya itu ke mulutku. Enak sekali ternyata. Pantas saja ramai oleh pengunjung. Setelah sepuluh menit menyantap soto ayam itu, aku menenggak segelas es teh selama tiga kali. Aku yang terduduk sendiri sambil menunggu nasinya turun, memikirkan berapa uang yang harus aku keluarkan apakah harga yang disebut alumni di malam itu masih berlaku. Tanpa berlama-lama, aku menuju penjual yang seumuran nenek-nenek dengan badan cukup kurus namun masih lincah dan giat menjual berbagai macam menu makanan dari pagi sampai sore. Apa yang dikatakan alumni di malam itu memang benar adanya, hanya lima ribu rupiah. Di detik itu juga aku memutuskan untuk berlangganan dua kali sehari. Bukan main memang. Di tengah kota industri ini masih ada warung yang menjual dengan harga yang membikin dompetku tersenyum lebar.

     Saben pagi dan siangnya aku ke sana walupun jaraknya cukup jauh dari kosku. Tidak masalah. Yang terpenting adalah agar aku bisa menghemat uang sakuku.  Di paginya aku sarapan dengan nasi pecel dan teh tawar. Lalu siangnya dengan soto dan teh tawar juga. Pagi-pagi paling enak makan dengan yang banyak sayurnya karena sangat berpengaruh bagi pencernaanku. Siang dengan terik matahari aku lebih suka dengan santapan berkuah hangat nan segar.

     Setelah aku tidak kuliah di Kudus aku merasa rindu dengan masakan khas warung belakang kampus, jadi setiap kali aku bepergian ke Kudus, aku selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi warung sederhana yang sangat membantu keuanganku itu.

      Bagaimana dengan makan malam? Tidak sengaja setelah selesai ospek kuliah di sore hari, kami bertiga makan di salah satu warung makan di depan kampus. Seorang wanita sekitar lima puluhan menjual berbagai macam makanan di deretan kios di bawah pohon kersen. Kami mengambil sendiri nasi dan lauknya. Aku memilih ikan lele goreng dan es teh. Setelah selesai apa yang ku dapat adalah harga murah juga. Sembilan ribu rupiah. Aku katakan dalam hati, “Ini adalah warung langgananku pada malam hari.” Tapi aku berniat untuk mencoba mencari menu makanan yang lebih murah, nasi telur balado, enam ribu rupiah. Entah sekarang harganya menjadi berapa. Lebih dari dua tahun aku tidak mengunjunginya lagi. Masihkah warung makan itu seperti dulu, yang tidak ramai tetapi dengan cita rasa yang enak dan harga paling murah setahuku dengan lauk seperti itu.

     Uang sakuku sebulan adalah delapan ratus ribu rupiah dengan pembagian sebagai berikut: enam ratus ribu untuk kehidupan sehari-hariku dan dua ratus lima puluh ribu untuk tabungan. Kira-kira uang itu cukup walaupun setiap libur kuliah aku sering pulang agar lebih menghemat. Di samping itu juga aku rindu rumah. Walaupun juga di Kudus itu aku tidak bisa sehemat seperti di Pare karena harus mengeluarkan biaya untuk bensin motor dan mencetak tugas kuliah, tapi setidaknya ada uang yang aku sisihkan untuk mengikuti Persijap berlaga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Kalah

Ketika peluit ditiup aku selalu ragu, engkau akan membawa angka atau justru dibikin malu. Entah di kandang atau sebagai tamu. Aku sendiri selalu khawatir ketika bola di muka gawang. Mungkin saja blunder atau sekadar hoki. Berharap bola segera keluar dari area pertahanan. Semakin kencang dada ini berdebar. Disepak jauh beruntung berbuah angka, jika sebaliknya menembus batas akhir menampar jala, ritus-ritus kolega menaruh kedua tangan di atas kepala memasang waajah kecewa.