Langsung ke konten utama

Lebih berhemat di tiga tempat #1

Saya kira ketika membeli makanan di burjo lebih murah daripada memasak sendiri. Ternyata tidak. Saya agak menyesal telah menghabiskan uang saya hanya untuk makan. Padahal sudah saya perkirakan berapa uang untuk makan dan berapa sisa untuk membeli kebutuhan lain. Selama membeli makanan di burjo hampir tidak menyisakan uang untuk ditabung. Untuk kali ini saya hidup jauh dari orang tua dengan uang saku yang cukup boros. Tidak seperti ketika di Pare atau di Kudus. Saya pernah satu pekannya hanya bermodalkan uang seratus ribu rupiah dan setiap bulannya ada sekitar empat ratus ribu rupiah uang yang saya tabung. Selama beberapa bulan, uang itu terkumpul lumayan banyak, sehingga saya bisa membeli sepatu, jersei bola, dan masih ada sisa untuk saya menonton pertandingan di jepara.

     Pada waktu itu saya benar-benar hidup dalam kehematan dan bahkan terbilang irit. Sehari-harinya hanya makan nasi putih, telur, dan kecap. Kalau terasa bosan pergi ke warung membeli tempe mendoan dan tumis sayur. Terkadang pula saya memasak nasi goreng dengan bumbu instan. Selama berbulan-bulan itu saya hanya makan dengan menu yang sama. Walaupun terkadang kami biasa membuat makanan khas daerah. Beberapa teman satu asrama saya adalah para kelasi kapal yang lihai memasak. Masakannya pun sangat enak untuk lidah saya walaupun ia tidak suka makanan pedas.

     Kami satu asrama sangat kompak dalam menghemat uang, maklumlah kami dari keluarga sederhana yang ingin mengenyam kursus bahasa inggris dengan biaya yang seminimal mungkin. Beberapa hari setelah saya menetap di asrama yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat kursusan itu saya ditawari oleh dua orang pare-pare untuk iuran membeli alat penanak nasi. Mereka mengajak orang yang tepat, orang yang suka hidup dalam kehematan. Langsung saja aku mengiyakan ajakan mereka. Sekitar dua ratus ribuan uang terkumpul untuk membeli alat penanak nasi. Selama beberapa hari kami menanak nasi di dalam kamar agar tidak membikin iri teman-teman lain satu asrama.

     Kegiatan kami bertiga menanak nasi berlangsung dengan senang selama beberapa hari. Kami bahkan makan bersama hanya dengan nasi, mi rebus, dan abon khas dari sulawesi selatan. Saya lupa terbuat dari apa abon itu, tetapi yang jelas rasanya enak sekali. Begitu juga dengan hari-hari berikutnya, kami melakukan hal yang sama sampai pada waktunya tragedi itu datang. Bukan dari kecemburuan teman-teman satu asrama yang tidak diajak melainkan dari pemilik rumah kontrakan itu. Seorang ibu dengan berbadan gemuk dan raut muka yang terkejut akan rutinitas kami. Dengan sedikit menggerutu, ia meminta kami untuk membayar biaya tambahan. Kami bertiga tidak mengetahui bahwa ada biaya tambahan listrik untuk peralatan seperti alat penanak nasi, laptop, dan mesin eletronik yang sejenisnya karena memakan daya listrik yang cukup besar. Pastinya pemilik rumah tidak mau merugi jika tidak dikenai biaya tambahan. Lalu kami bersepakat untuk membayar biaya tambahan asal kami masih bisa menanak nasi.

     Kami seperti biasa melanjutkan menanak nasi hingga suatu ketika ia menggerutu lagi agar kami tidak menggunakan alat penanak nasi karena sangat memakan daya listrik yang cukup besar dan jika  dikeluarkan biaya tambahan maka terbilang sangat mahal pula biayanya. Dengan kebaikan ibu pemilik rumah itu, ia menyarankan kami untuk menggunakan kompor gas untuk menanak nasi. Ia meminjamkan panci dan wajan serta mengajari kami bagaimana caranya menanak nasi dengan alat-alat itu. Sehingga alat penanak nasi yang kami beli itu tidak terpakai lagi dan ia meletakkannya di atas lemari kayu. Kami pun mulai mengerti dan terbiasa dengan kebiasaan baru itu. Banyak anggota baru yang ikut bergabung dengan kami dan setiap bulannya semakin bertambah bahkan sampai sembilan puluh persen anak yang tinggal di asrama itu ikut bergabung.

     Masalah baru muncul lagi, bukan dari ibu pemilik rumah atau dari anggota penanak nasi, melainkan dari pembina asrama kami. Ia mengeluhkan biaya gas elpiji yang cukup mahal karena setiap bulannya asrama kami hanya dijatah sebiji gas saja, maka untuk menutup defisit uang kas asrama itu, kami mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli sekitar dua sampai tiga gas elpiji per bulannya dengan catatan seperti ini: setiap kami membeli gas elpiji maka akan ada uang sebesar lima ribu rupiah dari uang kas asrama sebagai subsidi karena tidak mungkin bagi anggota penanak nasi untuk menutup semua uang pembelian selama sebulan; juga ada teman di luar anggota penanak nasi yang sering merebus air entah untuk memasak mi atau menyeduh kopi; di samping itu juga akan menjadi rumit bila diatur seperti pembelian gas elpiji pertama dari uang kas asrama dan setelahnya dari anggota penanak nasi. Akan timbul kebingungan ketika gas telah habis, akan dibeli dengan uang siapa ini.

     Di Pare itu masih banyak penghematan yang saya lakukan misalnya seperti, saya jarang sekali makan ayam, ikan, apalagi daging. Tentu alasannya sudah sangat jelas, lebih banyak biaya yang saya keluarkan daripada membeli telur. Saya pun sangat jarang pula membeli telur satu biji saja, karena lebih mahal jika dihitung-hitung daripada satu kilogram. Selama lima bulan di sana saya hanya bepergian selama satu kali yaitu ke Surabaya. Saya tidak pernak berlibur sseperti teman-teman saya misalnya ke Gunung Kelud, Simpang Lima Kediri, atau ke Malang. Dari sebelumnya saya memang tipikal orang yang tidak terlalu menggandrungi liburan, karena bagi saya hanya membuang tenaga, waktu, dan biaya saja. Bukannya mengistirahatkan badan malah membikin pegal-pegal saja. lebih baik uangnya saya tabung untuk membeli barang yang saya pakai, siapa tahu jika saya membutuhkan uang, saya bisa menjualnya. Alih-alih mendapat laba. Amboi senangnya.

     Mungkin di Pare itu adalah biaya paling murah untuk hidup yang pernah saya keluarkan. Tanpa motor, hanya jalan kaki, tidak membeli bahan bakar. Makan seadanya, jarang liburan, tidak merokok. Tetapi setidaknya saya bisa minimal makan tiga kali sehari, dan ketika pulang ke Jepara berat badan saya bertambah. Sebenarnya masih banyak momen yang berkesan menurut saya yang perlu saya tulis tentang orang-orang, suasana, udara, atmosfer, jalan-jalan kecil, keseharian, tabungan, kursus, keluh kesah, dan segala hal yang meliputinya. Terimakasih banyak Pare yang telah memberiku pengalaman  yang mengesankan.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah lapangan sore hari

  Saya kira musim ini dan seterusnya, saya tidak akan menonton bola lagi, tidak akan pergi ke stadion, tidak akan pergi ke luar kota untuk mengikuti laga-laga berikutnya. Saya kira saya akan menutup musim lalu dengan terpaku di kursi meracau tentang peluang-peluang yang terbuang sia-sia. Sehari sebelum peluit ditiup, saya akan merencanakan itu, berhenti menjadi penggemar klub sepak bola. Berita kematian dari media ke media menyayat hati saya sebab begitu mudahnya menghilangkan nyawa anak manusia yang masih memiliki perjalanan yang jauh. Manusia macam apa yang tega melakukan perbuatan itu? Atas dasar apa melakukan itu? Siapa yang mereka tiru? Dan yang lebih penting apa tujuan itu semua? Ketika pertandingan dihelat pada hari itu, maka di hari yang sama, siang dan malam menjadi instabilitas psikologis. Kejiwaan saya terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Saya kerap khawatir mengenakan lambang atau nama klub dan komunitas yang terpampang di pakaian. Saya merasa tidak aman. Seolah...

Bukan pilihan

     Saya tidak pernah memilih untuk mencintai klub ini. Semuanya begitu saja terjadi tanpa mudah untuk dimengerti. Kalau saya telaah satu per satu memang benar saya tidak memilih klub ini. Sepertinya ada campur tangan tuhan di dalamnya dan pastinya ini sudah direncanakan bukan semata-mata kebetulan. Alasan saya sederhana sekali, saya lahir dan besar di kota ini. Saya gemar bermain bola dan satu-satunya klub sepak bola profesional di kabupaten ini adalah Persijap Jepara 1954.      Misal saja saya dilahirkan dan dibesarkan di kota atau pulau seberang, pastinya saya akan mendukung klub bola dari kabupaten tersebut. Secara materi memang tidak ada untungnya menjadi penggemar klub sepak bola, apalagi dengan prestasi yang itu-itu saja dan jajaran pemain yang biasa saja. Malah banyak ruginya, tapi kehidupan ini bukan soal materi saja, tetapi lebih kepada kepuasan batin, dan inilah yang terpenting walaupun sifatnya relatif juga.         Kar...

Lebih berhemat di tiga tempat #2

“Kamu kuliah di mana?” Kataku kepada teman yang tak sengaja bertemu di suatu pertandingan bola voli.    “Tahun lalu aku rehat dari dunia sekolah, tapi bulan kemarin aku sudah mendaftar di Kudus.” Jawabnya sambil duduk di atas motor.      Kami berdua jarang bertemu tetapi saling mengenal dan akrab karena sering menonton pertandingan Persijap Jepara. Tentang bola voli hanya dia yang gemar bukan aku. Aku hanya ingin menonton teman-teman satu kampungku melakoni laga uji coba. Dalam pikirku yang tidak tahu mau berbuat apa setelah lulus sekolah, terbersit ingin kuliah di sana juga.      Aku sendiri pun seperti tidak begitu antusias mengambil kuliah jurusan manajemen yang di luar dugaan banyak sekali mata kuliah serba hitungan yang sering membuatku ingin berhenti saja, tetapi kali ini aku tidak menceritakan tentang lika-liku perkuliahanku di sana, tetapi lebih kepada bagaimana caraku mengelola keuangan dengan sebaik-baiknya.      K...