Saya kira ketika membeli makanan di burjo lebih murah daripada memasak sendiri. Ternyata tidak. Saya agak menyesal telah menghabiskan uang saya hanya untuk makan. Padahal sudah saya perkirakan berapa uang untuk makan dan berapa sisa untuk membeli kebutuhan lain. Selama membeli makanan di burjo hampir tidak menyisakan uang untuk ditabung. Untuk kali ini saya hidup jauh dari orang tua dengan uang saku yang cukup boros. Tidak seperti ketika di Pare atau di Kudus. Saya pernah satu pekannya hanya bermodalkan uang seratus ribu rupiah dan setiap bulannya ada sekitar empat ratus ribu rupiah uang yang saya tabung. Selama beberapa bulan, uang itu terkumpul lumayan banyak, sehingga saya bisa membeli sepatu, jersei bola, dan masih ada sisa untuk saya menonton pertandingan di jepara.
Pada waktu itu saya benar-benar hidup dalam kehematan dan
bahkan terbilang irit. Sehari-harinya hanya makan nasi putih, telur, dan kecap.
Kalau terasa bosan pergi ke warung membeli tempe mendoan dan tumis sayur.
Terkadang pula saya memasak nasi goreng dengan bumbu instan. Selama
berbulan-bulan itu saya hanya makan dengan menu yang sama. Walaupun terkadang
kami biasa membuat makanan khas daerah. Beberapa teman satu asrama saya adalah
para kelasi kapal yang lihai memasak. Masakannya pun sangat enak untuk lidah
saya walaupun ia tidak suka makanan pedas.
Kami satu asrama sangat kompak dalam menghemat uang,
maklumlah kami dari keluarga sederhana yang ingin mengenyam kursus bahasa
inggris dengan biaya yang seminimal mungkin. Beberapa hari setelah saya menetap di asrama yang hanya
berjarak beberapa meter dari tempat kursusan itu saya ditawari oleh dua orang
pare-pare untuk iuran membeli alat penanak nasi. Mereka mengajak orang yang
tepat, orang yang suka hidup dalam kehematan. Langsung saja aku mengiyakan ajakan
mereka. Sekitar dua ratus ribuan uang terkumpul untuk membeli alat penanak
nasi. Selama beberapa hari kami menanak nasi di dalam kamar agar tidak membikin
iri teman-teman lain satu asrama.
Kegiatan kami bertiga menanak nasi berlangsung dengan senang selama beberapa hari. Kami bahkan makan bersama hanya dengan nasi, mi rebus, dan abon
khas dari sulawesi selatan. Saya lupa
terbuat dari apa abon itu, tetapi yang jelas rasanya enak sekali. Begitu juga
dengan hari-hari berikutnya, kami melakukan hal yang sama sampai pada waktunya
tragedi itu datang. Bukan dari kecemburuan teman-teman satu asrama yang tidak
diajak melainkan dari pemilik rumah kontrakan itu. Seorang ibu dengan berbadan
gemuk dan raut muka yang terkejut akan rutinitas kami. Dengan sedikit
menggerutu, ia meminta kami untuk membayar biaya tambahan. Kami bertiga tidak
mengetahui bahwa ada biaya tambahan listrik untuk peralatan seperti alat
penanak nasi, laptop, dan mesin eletronik yang sejenisnya karena memakan daya
listrik yang cukup besar. Pastinya pemilik rumah tidak mau merugi jika tidak
dikenai biaya tambahan. Lalu kami bersepakat untuk membayar biaya tambahan asal
kami masih bisa menanak nasi.
Kami seperti biasa melanjutkan menanak nasi hingga suatu ketika
ia menggerutu lagi agar kami tidak menggunakan alat penanak nasi karena sangat
memakan daya listrik yang cukup besar dan jika
dikeluarkan biaya tambahan maka terbilang sangat mahal pula biayanya.
Dengan kebaikan ibu pemilik rumah itu, ia menyarankan kami untuk menggunakan kompor
gas untuk menanak nasi. Ia meminjamkan panci dan wajan serta mengajari kami
bagaimana caranya menanak nasi dengan alat-alat itu. Sehingga alat penanak nasi
yang kami beli itu tidak terpakai lagi dan ia meletakkannya di atas lemari
kayu. Kami pun mulai mengerti dan terbiasa dengan kebiasaan baru itu. Banyak anggota
baru yang ikut bergabung dengan kami dan setiap bulannya semakin bertambah
bahkan sampai sembilan puluh persen anak yang tinggal di asrama itu ikut
bergabung.
Masalah baru muncul lagi, bukan dari ibu pemilik rumah atau
dari anggota penanak nasi, melainkan dari pembina asrama kami. Ia mengeluhkan
biaya gas elpiji yang cukup mahal karena setiap bulannya asrama kami hanya
dijatah sebiji gas saja, maka untuk menutup defisit uang kas asrama itu, kami mengeluarkan biaya tambahan untuk
membeli sekitar dua sampai tiga gas elpiji per bulannya dengan catatan seperti
ini: setiap kami membeli gas elpiji maka akan ada uang sebesar lima ribu rupiah
dari uang kas asrama sebagai subsidi karena tidak mungkin bagi anggota penanak
nasi untuk menutup semua uang pembelian selama sebulan; juga ada teman di luar
anggota penanak nasi yang sering merebus air entah untuk memasak mi atau
menyeduh kopi; di samping itu juga akan menjadi rumit bila diatur seperti
pembelian gas elpiji pertama dari uang kas asrama dan setelahnya dari anggota
penanak nasi. Akan timbul kebingungan
ketika gas telah habis, akan dibeli dengan uang siapa ini.
Di Pare itu masih banyak penghematan yang saya lakukan
misalnya seperti, saya jarang sekali makan ayam, ikan, apalagi daging. Tentu
alasannya sudah sangat jelas, lebih banyak biaya yang saya keluarkan daripada
membeli telur. Saya pun sangat jarang pula membeli telur satu biji saja, karena
lebih mahal jika dihitung-hitung daripada satu kilogram. Selama lima bulan di
sana saya hanya bepergian selama satu kali yaitu ke Surabaya. Saya tidak pernak
berlibur sseperti teman-teman saya misalnya ke Gunung Kelud, Simpang Lima
Kediri, atau ke Malang. Dari sebelumnya saya memang tipikal orang yang tidak
terlalu menggandrungi liburan, karena bagi saya hanya membuang tenaga, waktu,
dan biaya saja. Bukannya mengistirahatkan badan malah membikin pegal-pegal
saja. lebih baik uangnya saya tabung untuk membeli barang yang saya pakai, siapa
tahu jika saya membutuhkan uang, saya
bisa menjualnya. Alih-alih mendapat laba. Amboi senangnya.
Mungkin di Pare itu adalah biaya paling murah untuk hidup
yang pernah saya keluarkan. Tanpa motor, hanya jalan kaki, tidak membeli bahan
bakar. Makan seadanya, jarang liburan, tidak merokok. Tetapi setidaknya saya
bisa minimal makan tiga kali sehari, dan ketika pulang ke Jepara berat badan
saya bertambah. Sebenarnya masih banyak momen yang berkesan menurut saya yang
perlu saya tulis tentang orang-orang, suasana, udara, atmosfer, jalan-jalan
kecil, keseharian, tabungan, kursus, keluh kesah, dan segala hal yang
meliputinya. Terimakasih banyak Pare yang telah memberiku pengalaman yang mengesankan.
Komentar
Posting Komentar