Apa yang paling kuingat dari Persijap Jepara adalah ketika bapak pertama kali mengajakku menonton langsung di stadion. Sebenarnya bukan bapak yang mengajakku, tapi aku sendiri yang meminta karena rasa penasaranku kepada orang-orang di sekitar yang sangat antusias menontonnya. Kira-kira tiga belas tahun yang lalu suatu sore di halaman rumah bersama teman-teman yang saling berebut bola ketika aku masih setinggi pusar orang dewasa. Bola plastik itu mengelinding ke arah mobil bak terbuka yang baru sampai dari Stadion Gelora Bumi Kartini yang beberapa bulan sebelumnya diresmikan.
Waktu itu aku hanya mendengar nama Persijap dari lontaran percakapan dari orang-orang yang bergumul di teras rumah. Entah itu yang membicarakan kemenangan, kekalahan, atau permainan yang buruk, atau peluang yang terbuang sia-sia atau serba-serbi lainnya. Sampai pada akhirnya aku meminta kepada bapak untuk menonton pertandingan secara langsung.
Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik menonton pertandingan sepak bola, tapi setiap kali orang-orang di sekitarku bercengkerama pasti tidak luput dari Persijap Jepara. Toh juga apa sih enaknya menonton padahal bermain secara langsung itu mengasyikkan. Pertanyaan semacam itu terus-terusan muncul di dalam pikiranku. Seseru apa sih menonton sepak bola itu? Memang agak aneh sebagai orang yang gemar bermain bola setiap pulang sekolah tetapi tidak menyukai satu pun klub sepak bola walaupun tidak harus klub lokal sendiri. Bahkan pada waktu itu aku kurang suka jika televisi di rumah diambil alih untuk menonton pertandingan bola.
Aku dengar kabar dari bapak bahwa Persijap akan menjamu PSMS Medan pekan depan. Tidak sabar aku menanti hari itu untuk mengetahui nikmatnya menonton bola secara langsung.
"Kita berangkat sehabis maghrib tapi jangan lupa makan malam dulu." Kata bapak ketika masih sore.
"Baiklah Pak," Jawabku dengan penuh semangat.
Aku yang bergegas mandi lalu mengenakan kaus Persijap kemudian melangkah menuju dapur mengambil sepiring nasi. Aku makan sambil membayangkan suasana stadion yang meriah ketika seorang pemain mencetak gol. Waktu itu aku sangat antusias sampai-sampai ketika mencuci tangan air di tumpukan piring kotor mengguyur kaus bolaku. "Sial betul, batal mengenakan kaus bola di laga perdanaku." Aku yang menggerutu dalam hati dan kakakku melihat sambil tertawa terbahak-bahak lalu bapak pun menyarankanku, "Sudahlah ganti saja dengan kaus yang lain." Lalu aku terbirit-birit berlari ke arah kamar mandi untuk membilas perutku yang tersiram air cucian. Aku membuka lemari pakaianku dan tidak ada satu pun pakaian yang berwarna merah.
"Bagaimana ini?" Tanyaku kepada bapak.
"Pakai saja apa yang ada."
Waktu tinggal tersisa dua puluh menit lagi sebelum peluit babak pertama ditiup. Aku duduk di depan bapak dan meletakkan kedua tanganku di atas kepala motor. Kami bergegas menuju stadion mengendarai motor bebek lawas. Di sepanjang perjalanan udara dingin berpolusi menerpa wajah dan kedua lututku. Rumah kami hanya berjarak lima kilometer dan itu sangat beruntung bagi kami karena bagi penggemar lain harus menempuh puluhan kilometer dan itu pun harus menembus gelap malam hutan. Di sepanjang jalan itu pula kami bersua dengan beberapa penggemar lain yang mengenakan atribut kepala bertanduk bak perompak bangsa skandinavia dan jumlahnya semakin bertambah ketika mendekati kompleks stadion. Gemerlap lampu putih stadion menyebar terang memenuhi langit yang kehitaman. Bunyi berisik peluit tukang parkir bertebaran di jalan-jalan. Lalu lalang kendaraan mengambil ancang-ancang untuk memarkirkan kendaraannya di dekat trotoar. Aku dan bapak berjalan puluhan meter menerobos gelap taman kota yang dipenuhi pepohonan. Kulihat di samping kananku berjejer orang-orang yang kencing menghadap dinding pertokoan.
Aku menunggu bapak yang berdesakan mengantre di depan loket dari kejauhan. Terdengar orang-orang meneriakkan jumlah tiket yang akan dibeli. Aku yang mengamati setiap gerak-gerik orang-orang di sekitar: orang tua yang menggenggam telapak tangan anak seumuranku; penjual makanan dan minuman ringan; para calo yang berdiri di kegelapan; dan para portir yang menyobek tiket pertandingan. Bapak telah kembali dan hanya membeli selembar tiket, sempat aku berpikir bahwa bagaimana denganku? Momen unik yang baru kutahu dari pertandingan itu adalah bahwa selembar tiket bisa digunakan untuk seorang dewasa dan dua anak. Kemudian bapak menghampiriku dan menggenggam tangan kananku dan menuju pintu masuk tribun selatan. Konon kata bapak bahwa beliau lebih mengutamakan tribun ini, di samping karena lebih murah dan dekat dari area parkiran tetapi juga bapak enggan berdiri berdesakan di tribun yang lain. Jadi selama aku menonton Persijap dengan bapak pasti di tribun ini dan itu juga yang membuatku terbiasa menonton pertandingan dari belakang gawang. Ada satu keuntungan yang kurang dirasakan ketika menonton dari samping lapangan, yaitu aku bisa melihat serangan di muka gawang dengan lebih jelas.
Satu per satu anak tangga aku naiki dan seperti yang aku duga stadion ini penuh dengan keriuhan dan kemeriahan para suporter. Hampir tidak ada yang tidak mengenakan kaus berwarna merah selain aku, dan syukurnya aku bisa menyaksikan para pemain yang masih melakukan pemanasan walaupun hanya sebentar. Ketika pemain memasuki mulut tribun, seorang pewara menyebutkan satu per satu nama pemain yang akan menjadi skuad utama melalui pengeras suara dengan intonasi yang khas, sehingga menggema seisi stadion. Ada satu ritus yang unik menurutku ketika pewara menyebutkan nama pemain dan akan diakhiri dengan bunyi genderang dan teriakan suporter. Aku sendiri tidak tahu dapat dari mana referensi mereka, entah itu hasil intuisi atau inspirasi sekali pun. Yang jelas ritus itu menurutku mampu menambah semangat masing-masing pemain.
Terlihat samar-samar wasit berada di mulut lorong tribun dan diikuti dua banjar masing-masing tim kesebelasan. Mereka memasuki bibir lapangan lalu berbaris dan bersalaman. Masing-masing kesebelasan mengabadikan momen dengan mengambil gambar sebelum pertandingan. Kemudian salah satu pemain, kapten, menghampiri hakim lapangan untuk menentukan bola pertama. Dua puluh dua orang menyebar di atas lapangan mengisi formasi yang telah ditentukan kedua juru taktik. Ada satu nama yang tidak asing di kedua bola mataku dari pihak lawan, yaitu seorang kiper berkepala plontos: dialah Markus Horison waktu itu namanya. Peluit panjang ditiup, bola bergulir ke sana kemari. Pertandingan berjalan dengan lancar, kedua kubu saling bertukar serangan dan memainkan sepak bola yang menarik. Salah satu pemain Persijap menjebloskan bola ke jaring gawang. Sontak seisi tribun berdiri dan berteriak menyemarakkan satu lingkaran stadion.
"O jadi di sini letak keseruan dari menonton sepak bola." Gumamku sambil berdiri secara spontan.
Komentar
Posting Komentar