Ketika aku datang ke kota ini, aku merasa akan mendapat kesulitan untuk bertahan hidup. Tidak ada saudara dalam satu atap, hanya teman satu bekas komunitas. Itu pun terpaut beberapa angka dari usiaku, dan itu pun kami jarang bertemu walaupun kami sangat akrab, tetapi tetap saja aku merasa sungkan meminta bantuan. Padahal ibu menyediakanku uang saku yang cukup untuk beberapa bulan ke depan, tapi aku tetaplah aku yang sama di masa lampau. Tetap hidup dalam kehematan berbagai kebutuhan sehari-hari, hanya untuk mengumpulkan uang tabungan untuk berjaga di masa depan. Manusia tidak ada yang tahu tentang apa saja yang akan menimpa mereka suatu saat nanti. Satu jam ke depan pun tidak ada yang tahu pembelokan ekspektasi yang direncanakan di masa sekarang.
Aku ini memang agak aneh, sudah disediakan untuk hidup yang lebih enak tetap saja memilih jalan yang berliku seperti yang kutempuh beberapa waktu lampau. Saban harinya cuma makan nasi telur dan segelas air putih. Tidak ada rasa bosan untukku melakoninya berulang kali. Buatku nasi telur sudah cukup untuk menampar lidahku yang hambar karena jarang berjajan penganan. Dalam otakku masih terpatri bahwa rasa makanan dari dulu ya itu-itu saja, seenak apa pun ujung-ujungnya jadi tahi juga. Rasa makanan tidak membuatku menjadi kendala utama asalkan bukan makanan basi, akan aku lahap senikmat mungkin. Semua anggota yang ada di tubuh manusia itu hanya alat pesuruh saja kecuali hati dan otak. Lidahku bisa diatur agar mau menerima semua makanan asalkan baik untuk kesehatan. Rasa kurang sedap pun bisa kukonversi ke rasa yang sangat sedap. Mudah saja buatku asal pundi-pundi selisih uang terkumpul. Menurutku seribu-dua ribu sangat penting dan berpengaruh dalam pertahanan hidup. Kalau hanya seribu saja memang kurang bernilai, dianggap remeh, tapi kalau dilipatkan tiga puluh, itu bisa buat tiga porsi ayam goreng. Lumayanlah, bisa untuk makan seharian. Inilah seni bertahan hidupku. Aku tidak memikirkan satuan tunggal tapi kelipatan dan dampaknya.
Beberapa jenis warung makan telah kuhampiri. Telah kusurvei harga, kualitas, dan kuantitas olahannya, tapi ada satu jenis warung makan yang membuatku menjadi primadona. Burjo dekat tempat kumenetap. Tidak sampai seratus meter kutapaki jalan berbata paving selebar satu setengah meter yang menjadi rute tetap untuk sampai pada warung makan penyambung hidupku. Dengan meja kayu panjang berpelitur berbaris rapi di teras yang cukup luas dan etalase makanan berkaca dengan bermacam lauk pauk. Aku yang sudah sampai di muka etalase itu tanpa basa-basi dan malu-malu memesan menu andalan; nasi telur dan air putih. Di atas piring plastik tersaji sekepal nasi putih yang tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit pula dan tergeletak kering tempe, mi kuning, dan tentunya sebutir telur balado yang menambah semangatku untuk melahap dengan sendok dan garpu. Betapa lezatnya masakan buatan beberapa anak muda ini. Dengan tangan cekatan mereka membolak-balik masakan dalam wajan. Menyuguhkan sajian ke atas meja pelanggan.
Dalam setiap kumemesan, aku selalu merasa seperti melakukan basa-basi saja. Sebab yang kupesan adalah menu makanan yang tidak pernah aku ganti sejak pertama kali makan di burjo ini dan penyaji pun merasa sudah hafal dengan setiap perkataanku, tapi tetap saja mereka akan menawarkan, "Mau makan apa Mas? Dimakan di sini atau dibawa pulang? Minumnya apa?" Serangkaian kalimat yang sangat melekat dalam ingatanku jika membicarakan warung makan burjo. Entah itu nama sebenarnya atau bukan. Karena dalam satu warung makan itu mereka bisa mengeklaim sebagai burjo atau warmindo, tapi yang jelas tidak masalah buatku karena keramahan harganya di dompet itu yang paling penting. Di sini warung makan sejenis itu tersebar merata di sepanjang wilayah dan hampir tidak ada nama jalan pun yang tidak ada warung makan Burjo.
Karena sangat sering makan di tempat itu, aku bahkan sampai menganggap diriku sebagai seorang burjois, pelesetan dari Borjuis atau Bourgeouisie, kaum menengah ke atas dalam struktur sosial yang cenderung menguasai perekonomian. Sedangkan burjois ini adalah seorang yang hidupnya di ambang kesederhanaan dengan uang yang pas-pasan untuk bertahan hidup. Memang agak sulit hidup jauh dari orang tua karena aku harus cerdik mengatur keuangan. Satu kesalahan pun bisa berakibat buruk untuk sisa hari berikutnya. Aku pernah mengalami keuanganku cepat surut entah habis untuk apa. Bukan karena dicuri atau untuk berfoya-foya, tetapi kesalahan dalam mengeluarkan sejumlah uang untuk pelbagai kehidupan. Seharusnya aku tidak mengeluarkan uangku sekaligus untuk membelanjakan keinginanku. Seharusnya butuh waktu satu bulan untuk menanti sisa uang saku, sehingga sisa uang saku yang kuanggap tabungan itu boleh untuk membelajakan keinginanku.
Aku sempat panik dengan kesalahan itu. Ingin meminta uang lagi tapi merasa ewuh pakewuh kepada ibu. Walaupun jika aku meminta pasti dikasih, tapi aku tidak bisa terus menerus seperti ini. Aku tetaplah aku yang penuh kehematan walaupun jika suatu saat nanti aku menjadi orang yang berduit, aku akan tetap hidup dengan cara seperti ini.
Komentar
Posting Komentar